BAB 4

192 27 3
                                    

Gilang menimang layar persegi itu, ketika ada balasan chat masuk. Tersenyum tipis ketika melihat isi chat dari gadis itu.

Ia meletakkan handphone nya di meja depan televisi, lalu beranjak ke depan untuk mengunci pintu pagar dan pintu garasi.

Rumah itu terlihat sepi, hanya ada ia dan ibunya, sepeninggal ayahnya tiga tahun lalu.  Adiknya, Nia, sudah menikah dan mengikuti suaminya di luar kota. Beruntungnya ada mbok Nem dan Pak Surip, yang bekerja di rumah itu, meskipun keduanya hanya bekerja membersihkan rumah sampai sore. Juga Mbak Ima, anak dari kakak tertua ibu nya, yang baru saja bercerai setelah 20 tahun menikah. Memutuskan pulang ke desa tahun lalu dan menemani mereka.

Setelah mengunci pintu utama, terdengar pintu kamar ibunya terbuka.

"Lagi mulih to Lang?" Ibunya merapikan selimut tipis yang dikenakannya.

*Baru pulang

"Enggih bu, sekalian antar Angga ke stasiun tadi."

*Iya

Bu Kasnan duduk di sofa depan televisi. Diikuti Gilang.

"Dereng sare?"

*Belum tidur?

Bu Narsi memijit pelipisnya.

Melihat gelagat itu, Gilang hendak berdiri, tapi lengannya segera di cekal ibunya, sehingga ia duduk kembali.

"Tadi bu dhe Endah telepon, keponakan temannya ada yang mau kenalan sama kamu."

"Yo kan." Batin Gilang.

"Oh gitu."

Bu Narsi terlihat gemas dengan anak sulungnya.

"Besok ajak ketemuan gih."

Gilang menoleh ke arah ibunya.

"Emoh."

*Enggak

Narsi menjewer telinga anak lakinya itu.

"Aduduududh, bu jangan KDRT to, aduhhh."

"Bocah di omongi kok ora ngerungokne kupinge."

*Bocah di kasih tahu kok tidak mendengarkan

Gilang mengusap usap daun telinganya yang memerah. Benar benar ibunya ini.

"Besok bu dhe endah kesini bawa keponakannya temennya itu." Narsi berdiri sambil mengibaskan daster mahalnya.

"Aku besok kerja. Toko siapa yang atur kalau aku ndak kesana."

"Alesan. Seharian ini kamu ngelayap bisa to. Kenapa besok nggak?"

"Besok gantinya hari ini."

"Ck, alesan. Kowe kui bose, bolos kerja gak masalah. Besok ibu ikut ke toko." Narsi melangkah berjalan ke arah kamarnya. Meninggalkan Gilang sendirian di sofa itu.

*Kamu itu

**************************************

"Lang, anter mbak ke pasar ya, buat belanja besok ada kuli kerja di kebun." Ima keluar dari dapur sambil mengelap tangannya.

Gilang yang baru saja bangun hanya mengangguk sambil menguap. Sarung masih melingkar di badannya.

Keluarga Gilang memang mempunyai lahan pertanian sayuran, dan di turunkan kepada anak laki lakinya.

Ia merasa berterima kasih kepada Ima, karena mau membantunya, sehingga ia menjadi tidak kerepotan karena harus menjaga dua toko pertanian sekaligus. Toko yang di sebelah rumah ia percayakan kepada Patmo, adik kelasnya dulu.

"Bawa mobil atau motor mbak?"

"Bawa mobil saja ya, belanjaane akeh e."

"Oke."

"Bentar tak ambil dompet."

Terdengar suara dari arah depan toko.

"Assalamualaikuuuum."

"Assalamualaik......"

"Waalaikum salam. Loh Nungki, ngapain pagi pagi kesini?"

Gilang membuka pintu samping yang menjadi penghubung dengan toko.

"Lho mas Gilang. Anu, tokonya belum buka ya? Mau beli obat rumput."

"Biasanya Patmo yang buka, mungkin masih ada perlu, bentar tak ambil kunci."

Gilang lalu menghilang ke arah rumah.

Bapaknya Nungki ingin menyemprot rumput kebun belakang rumah, kebetulan obatnya habis. Ia menyuruhnya membeli herbisida rumput. Kebetulan toko ini satu satunya yang ada di desa mereka.

Pintu rolling door itu terbuka dari dalam, Gilang yang masih mengenakan kaos dan sarung tampak biasa saja, sedang Nungki tampak salah tingkah.

"Obat yang merk apa, Nung?"

Nungki tampak menggaruk kepalanya. "Hehe merk apa ya mas, yang buat rumput."

"Hmm. Buat kebun ya?" Tampak Gilang mencari cari di rak.

"Iya."

"Yang ini saja." Gilang meletakkan botol berwarna biru di meja etalase depan Nungki.

"Lho mas, aku kesiangan." Patmo terlihat habis lari.

"Tumben." Gumam Gilang

"Motorku ban ne kempes, Mas. Eh ada mbak e, cari apa mbak?" Sapa Patmo ketika melihat wanita cantik di hadapannya.

"Oh ini sudah." Ujarnya sambil menunjuk botol itu.

"Sama Patmo ya Nung." Gilang lalu undur diri ke dalam rumah.

Nungki mengangguk, lalu memasang bibir cemberut.

"Wah mbak e wajahe kok tiba tiba cemberut to."

Nungki menatap Patmo, pria berperawakan kecil berkulit sawo itu menatapnya geli.

"Mboten mas, harganya berapa?" Tanyanya mengalihkan perhatian.

"Ini 90 ribu mbak."

Nungki lalu membuka dompet dan mengeluarkan selembar merah.

Patmo lalu memberikan kembaliannya.

"Suwun mbak."

"Sami sami mas, monggo."

"Inggih."

Nungki hendak menyarter motornya ketika dari dalam rumah itu keluar mobil, dan Gilang menyalakan klakson. Nungki menganggukkan kepalanya sebagai tanda sopan.

Sepanjang perjalanan sampai rumah, Nungki bertanya tanya, siapa tadi yang ada di mobil sama mas Gilangnya, apa  itu istrinya mas Gilang, bukannya mas Gilang belum nikah, apa itu calonnya?

Brakkkk

"Aduhhhh. Ya allah."

"Astagfirullahh." Pak Broto yang sedang memandikan burung peliharaanya, berlari melihat putrinya jatuh setelah menabrak pot bunga.

Nungki mencoba berdiri, tapi kakinya ketiban motor.

"Pie to Nunnng, numpak motor kok ngelamun wae."

***************************************

8/7/22

Mendung di batas SenjaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang