BAB 3

222 36 3
                                    

"Mbak Nuuungg." Nila segera berlari ketika melihat kakaknya itu berjalan menuju tendanya.

Nungki memeluk adik bungsunya.

"Mas Angga mana?"

"Dah balik ke Jogja."

"Lho pripun to." Raut kecewa membayangi wajah si bungsu.

Nungki meraih saku jaketnya, lalu mengibaskannya di muka adiknya.

"Sangumu."

Nila memekik bahagia. Lalu memeluk Nungki lagi.

"Sayang bangettt."

"Titipan mas Angga itu."

Nila mengangguk.

"Ini tas isinya cemilan sama buah."

Nila meraih tas yang dibawa kakaknya, lalu mengajaknya ke dalam tenda.

"Mbak sama siapa kesini?" Nila melihat ke belakang

"Diantar mas Gilang."

Kedua mata bulat Nila membulat. "Om om tampan temennya mas Angga kan?"

Nungki memukul pelan bahu adiknya.

"Hushhh. Kok panggil om."

"Lha emang sudah om om." Nila mengusap bahunya.

Nungki menggaruk kepalanya yg tidak gatal. Memang jarak usia Nila dan Angga atau Gilang terpaut 18 tahun. Wajar saja ia memanggilnya Om.

Nungki melihat lihat kedalam tenda.

"Kalau hujan kamu tidur dimana La?"

"Di balai dusun mbak, sudah disiapin kok, untung aja ndak musim hujan. Cuma kadang gerimis, tendanya anti air, tenang aja mbak."

Nungki mengangguk paham.

*************************************

Nungki mencari cari keberadaan Gilang. Hari sudah menjelang senja, ia terlalu lama ngobrol bersama adik dan teman temannya. Sehingga lupa waktu.

Ia meraih handphone hendak menghubungi Gilang. Saat ia ingat belum menyimpan nomer pria itu. Nungki menepuk jidatnya.

"Sudah?"  Suara bariton mengagetkan Nungki.

"Astagfirullah."

"Masih kagetan aja kamu Nung." Gilang terkekeh.

"Hmm."

"Makan dulu yuk."

Nungki mengangguk.

Sore itu banyak orang tua dan keluarga yang mengunjungi anak anaknya yg sedang jambore kemah.

Beberapa warung sate ayam dan kelinci terlihat sibuk dan ramai.

Nungki dan Gilang berjalan mencari warung dan tempat duduk.

"Mas disitu masih ada." Nungki menepuk bahu Gilang sambil menunjuk penjual di paling ujung.

Gilang mengangguk lalu mereka berjalan ke warung teplek lesehan.

"Sate ayamnya kaleh pak." Nungki memesan makanan.

*Dua

Gilang yang sudah duduk di lesehan terlihat menyelonjorkan kaki jenjangnya. Wajah lelah Gilang terlihat dari lampu remang2 warung.

"Capek mas?" Nungki duduk disebelah pria itu.

"Lumayan. Pegel banget kaki nya."

"Mau tak pijit?" Dengan polosnya Nungki bertanya.

Gilang menganga tak percaya, lalu pecah tawanya.

"Lho kok ketawa?" Nungki bertanya melihat pria itu tertawa.

Gilang mencoba berhenti tertawa. Lalu menatap wajah ayu Nungki.

"Saya suka suka aja kalau Nungki mau pijit, tapi nanti pasti saya lepas kendali."

Nungki menyatukan kedua alisnya.

"Ck. Mesum!" Desisnya.

Gilang kembali tertawa, sambil menepuk nepuk betis dan pahanya.

"Kamu ini sudah punya suami masa iya mau mijit saya."

Nungki melengos. Mencoba menghindari obrolan itu. Ia tidak mau pria itu tahu kisahnya.

Gilang melirik wanita itu.

"Angga sudah cerita."

Nungki menoleh ke arah Gilang.

"Ndak apa apa kan kamu, Nung?"

Hanya sebait pertanyaan itu, air matanya mengalir.

"Maaf den, sate ayamnya tinggal satu." Penjual sate itu dengan tampang polosnya tersenyum ke arah mereka.

**************************************

Setelahnya, Gilang mengajaknya mampir disebuah tempat makan, malam itu agak gerimis di bawah tawangmangu. Meskipun cuaca sudah masuk musim kemarau.

"Dimakan Nung." Gilang memecah lamunannya.

Nungki mengangguk.

Ia terpaksa membungkus sate dari tawangmangu tadi, dan menaruhnya di mobil karena sudah dingin.

"Kok baru satu porsi mas?" Ia melihat Gilang belum membawa piring sate nya.

"Masih dibakar itu."

Nungki melihat jam sudah lebih dari jam 7 malam. Dan ia ingat pria itu juga belum makan dari tadi siang.

"Makan sama sama aja mas."

"Kamu dulu ndak apa apa."

"Ya nanti kalau datang lagi, makan bareng lagi." Usulnya.

Gilang mengendikkan bahu setuju, lalu mengambil setusuk sate dari piring Nungki.

"Enak Nung." Gumamnya sambil melihat mata Nungki.

Nungki gelagapan gugup, lalu mengambil sate itu dan memakannya. Mungkin ia gugup karena perutnya lapar.

Setelah menghabiskan 4 porsi sate ayam, mereka duduk melihat pemandangan dari bukit. Beruntungnya tempat makan itu mempunyai view yang bagus.

Meskipun Rata rata menu makannya hanya bakso dan sate. Karena area perbukitan lebih cepat dingin, pengunjung butuh makanan yang hangat.

Duduk duduk santai menikmati dinginnya malam. Aduhai.

"Kamu sampai kapan di desa?" Gilang bertanya.

"Mungkin agak lama mas. Buat menenangkan pikiran saya ambil cuti lama."

"Keluarga sudah tahu semua masalahmu?"

Nungki menggeleng. "Ada beberapa hal yang tidak bisa Nungki ceritakan."

"Kamu mau cerita sama saya?" Gilang bertanya

Nungki menoleh ke arah pria itu.

"Nungki belum siap mas." Lirihnya.

Gilang memeluk bahu Nungki. Membuat wanita itu kaget dan kaku seketika.

"Kamu itu dari kecil selalu bersemangat. Jangan lupakan itu." Bisiknya.

Membuat pipi Nungki merona.

*************************************

Dan dari cerita Gilang juga lah ia tahu, kalau mas Angga ngamuk ngamuk menyumpahi Bram. Kalau sudah saatnya ia akan menghajar "calon" mantan suaminya itu.

Ting

Nungki meraih handphone nya dan membuka pesan dari nomor baru.

Ini mas Gilang. Disimpan nomornya.

Nungki berbaring di kamarnya, lalu tersenyum melihat chat itu.

Nggak.

Nungki memencet tombol kirim.

Mendung di batas SenjaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang