CHAPTER 12

49 1 1
                                    

Shafa meletakkan sepasang sepatu pria yang telah ia beri stiker label ukuran, juga logo merek kedalam kardus. Meskipun Sutomo adalah seorang juragan, tetapi beliau dikenal sebagai orang yang pelit bahkan kepada anaknya sendiri, terlebih lagi pada anak keduanya, yaitu Shafa.

Shafa sudah menjalani pekerjaan ini sejak ia masih duduk di bangku kelas enam sekolah dasar. Penghasilannya pun lumayan, sekitar tiga ribu rupiah per hari. Cukup, untuk kepentingan pribadinya seperti membeli sebungkus pembalut dan mentraktir teman-temannya makan bakso dikantin sekolah.

Gadis itu memijat telapak tangannya perlahan. Nyeri dan kram sudah biasa ia rasakan. Tapi ia senang karena ditempat kerjanya ini, ia mendapatkan banyak teman dari berbagai usia. Bosnya juga baik. Mereka semua memperlakukan Shafa selayaknya saudara sendiri. Saat hari libur seperti ini, Shafa akan masuk pagi, sedangkan kalau hari biasa, ia akan masuk siang.

"Kenapa, Nduk? Capek ya?" Bu Dewi—Wanita yang duduk disamping Shafa itu—menggeser duduknya. Tangannya meraih tangan kanan Shafa kemudian memijatnya. "Kalau capek istirahat aja, Nduk. Lagian ini juga tinggal dikit."

Shafa tersenyum canggung. "Terimakasih, Bu."

Bu Dewi menatap sendu kearah Shafa, ia mengelus lengan Shafa. Memberikan tepukan kecil dibahu gadis itu. "Yang sabar ya, Nduk. Ibu doakan semoga kamu jadi anak yang sukses. Meskipun kamu gak diperlakukan seperti saudara mu yang lain, kamu tetep gak boleh berkecil hati dan membenci orangtuamu," kata Bu Dewi dengan tulus.

Shafa mengigit bibir bawahnya. Ia benar-benar tidak ingin menangis ditempat umum seperti ini. Ia menghembuskan napas dalam-dalam kemudian berucap, "Terimakasih, Bu. Aku ... akan selalu menyayangi kedua orangtuaku."

***

Sambil bersenandung, Nur Ida — Ibu dari Shafa itu— terlihat sedang menyirami beberapa tanaman di halaman rumahnya. Setelah dirasa tanamannya sudah terbasahi oleh air, beliau langsung menutup kran dengan rapat. Wanita paruh baya itu membungkukkan badannya seraya memotong daun yang telah kering dengan gunting supaya tidak menyebar ke tanaman yang lain.

Seorang pemuda dengan atasan kemeja kotak-kotak itu berjalan masuk kedalam halaman rumah. Ia mengucapkan salam lalu sedikit membungkukkan badan kemudian mencium tangan Nur Ida dengan sopan.

"Ada apa ya, Nak?"

"Saya ingin memberikan ini untuk Shafa, Tan," kata Zefan sembari menyodorkan sebuah kresek hitam berukuran sedang kearah Nur Ida.

Nur Ida menerima kresek hitam itu. "Ayo sekalian mampir dulu, Nak."

"Mohon maaf, Tan. Mungkin lain kali saya akan mampir. Soalnya sudah malam, saya takut bunda khawatir." Zefan merapatkan kedua telapak tangan didepan dada. Sedikit tidak enak hati, karena menolak ajakan dari orangtuanya Shafa.

"Yasudah, kalau begitu kamu hati-hati pulangnya. " Nur Ida nampak senang karena pemuda didepannya ini sangat sopan. Bahkan setelah mengucapkan salam dengan nada yang lembut, pemuda itu juga masih sempat menutup kembali pagar rumahnya.

Never Ending Love | Jay ParkTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang