CHAPTER 7

222 2 0
                                    

Shafa menatap papan tulis didepannya itu tanpa minat. Pelajaran kimia sangatlah membosankan. Menghitung hal-hal yang tidak jelas. Matanya mencuri pandang kearah jam dinding. Gadis itu menghela napas kecewa, lantaran pergantian jam pelajaran masih kurang dua puluh menit lagi.

Ia lantas memijat pangkal hidungnya, berusaha mengurangi rasa pusing dikepala. Bu Ningsih—Guru kimia kelas 1-1—itu membalikkan badannya kearah para siswa. Sesudah itu, menghampiri bangku Shafa.

Beliau menyodorkan kapur tulis. "Kerjakan soal didepan." Gadis berambut kecoklatan itu hanya bisa menelan ludahnya sendiri, kemudian menerima kapur itu dengan gerakan ragu, lalu berjalan menuju papan tulis.

"Haduh mampus, gue gapaham sama sekali," gumamnya lirih.

Lima menit berlalu, namun Shafa masih saja berdiri didepan papan tulis tanpa menuliskan apa-apa. Tangannya berkeringat, bahkan kedua kakinya juga ikut gemetaran.

Bu Ningsih menaikkan satu alisnya, beliau mendekat kearah Shafa, mengambil alih kapur yang digenggam kemudian menuntunnya, berdiri di sebelah papan tulis.

"Kamu berdiri disini sampai pembelajaran saya selesai," kata Bu Ningsih dengan tegas.

***

Shafa berjalan menuju ruang tamu rumahnya, sembari menenteng sebuah buku bersampul coklat. Dengan wajah yang cemberut ia mendudukkan bokongnya dilantai kemudian pura-pura menyimak buku catatan kimia miliknya.

Pemuda yang duduk disamping gadis itu hanya bisa geleng-geleng kepala. Ia melipat lengan kemejanya kemudian berkata, "Bagian mana yang kamu tidak paham?"

Gadis itu menoleh. Dengan masih mempertahankan wajah cemberutnya. "Semua," jawabnya singkat.

Zefan mengambil buku catatan gadis itu kemudian menuliskan beberapa rumus yang rumit dengan sangat rapi. Sesekali matanya melirik kearah Shafa, tampak gadis itu tengah memijat kedua kakinya.

Aktivitas menulis Zefan pun terhenti. Ia berinisiatif untuk membantu mengurangi rasa pegal dikaki Shafa dengan cara memijatnya perlahan.

Shafa terdiam. Membiarkan pemuda disampingnya ini memijat kakinya.

"Maaf sebelumnya, kalau saya lancang. Tapi jujur, saya tidak tega," kata Zefan. Menoleh kearah Shafa. "Kalau ada yang tidak kamu pahami, tanyakan saja ke saya. Kasihan, kalau kamu terus menerus jadi korban bu Ningsih," katanya lagi.

"Jadi kamu tau?" Laki-laki itu membalas pertanyaan Shafa dengan sebuah anggukan kecil.

"Meskipun saya selalu disibukkan dengan kegiatan OSIS, tapi saya akan tetap jadi orang nomor satu yang tau semua hal tentang kamu."

Never Ending Love | Jay ParkTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang