Memori di kepala menggiring aku ke satu malam tanpa murah senyum sang dewi malam. Sebelas tahun silam kira-kira. Kala itu, tengah duduklah aku separuh bengong di sebuah kursi panjang yang dingin menyetrum kulit, menghadap lajur-lajur baja yang hanya diam digerogoti zaman. Suasana tidak ramai, tanpa atraksi. Hanya nampak beberapa orang hilir-mudik di sepanjang peron. Senadalah dengan kelesuanku yang lelah menanti sesuatu. Melamun sajalah aku, asyik berimajinasi. Betapa serunya kelak menunggang ular besi yang akan membawaku pergi bersama Bapak. Ah, Bapak. Dia sudah punya kesibukan membaca koran langganan untuk menaklukkan kejenuhan. Tak dihiraukannya aku. Raut wajah awet muda itu begitu serius, terjerat di antara deretan huruf kecil-kecil penuh persoalan. Pendaran lampu-lampu senantiasa mempermudah aktivitasnya meski redup seolah ogah-ogahan berpijar. Hah! Percuma saja kuajak bicara. Balasan yang akan keluar dari liang tenggorokannya pasti hanya "hm?" atau "hah?" tanpa ada keberlanjutannya. Atau tak ada balasannya sama sekali. Sudah biasa itu, sih. Lebih baik lanjut bengong lagi seraya memperhatikan sekeliling. Salah seorang dari dua pemuda yang duduk di sisi kananku sekonyong-konyong menegurku. Lamunanku buyar seketika. "Nampaknya sepotong dua potong biskuit ini cocok menemani penantianmu. Ambillah, Dik. "Aku meragu. Kepalaku menggeleng. Segaris senyumku terlukis malu-malu di bibir. "Janganlah kau ragu, Dik. Berbagi itu indah, bukan?," tangan sang pemuda semakin tersodor ke arah jemariku yang hanya terbaring menelungkup di atas paha.Sepersekian detik kemudian, demi mengapresiasi tawaran sang kakak baik hati, jemari itu akhirnya bangkit perlahan mencomot satu-dua potongbiskuit dari dalam bungkusnya. Mulutku memang sebenarnya juga sedang rindu mengunyah cemilan. Bapak tak tahu akan kejadian ini. Namun, aku tahu betul Bapak takkan mungkin membelikanku jajanan dalam rupa apapun sebab dana yang bersemayam di sela-sela dompet buduknya amatlah terbatas. "Terima kasih banyak, Mas," senyum kembali tersungging di bibirku.
Di malam yang bahkan tak bertabur bintang-bintang riang itu, aku dan Bapak harus bertolak ke Kota Pelajar sebab ada kabar duka datang dari sana. Aku bersedih hati, tetapi juga bergirang hati. Tak perlulah masuk sekolah yang membosankan selama tiga hari ke depan. Ditambah lagi, aku akan naik moda transportasi kesukaan. Namun, rasa-rasanya sudah cukup banyak lokomotif berekor gerbong yang masuk-keluar bangunan murung ini. Mengapa yang satu itu belum juga menampakkan moncongnya? Biar saja. Aku masih setia menunggu.
Sedikit lagi jarum jam menggapai angka sepuluh. Aku mulai sebal dengan keadaan. Akan tetapi, tak lama setelah kesebalanku menjalari saraf-saraf, tertangkaplah bunyi-bunyian pengeras suara agak berkeresek oleh gendang telinga. Seorang petugas mengumumkan akan tibanya Kereta Api Bengawan. Nah, cakep! Biarlah walau telat sejam. Kereta api ekonomi tempo dulu memang payah. Ah, yang penting harga tiketnya murah meriah. Bersicepat kujejalkan di bahu ransel pink tua bersematkan muka manis Minnie Mouse pemberian Ibu tiga tahun sebelumnya. Lain level dengan Bapak yang membawa ransel butut legendarisnya yang setia menyertainya naik-turun gunung kala lalu. Lihat saja kelak, aku juga akan setangguh dia. Kepalaku menengadah, bertemu dengan wajah sosok itu. Kekaguman sekaligus ketidaksabaran tentu terekam gamblang olehnya dari air muka sang putri. "Yuk!" Erat dia menggengenggam sebelah tanganku. Lalu, berlekas-lekaslah kami ke bibir peron. Sejumlah orang juga telah bersiaga. Itu dia! Sepasang aksaku tertumpu pada setitik cahaya kuning di kejauhan, makin lama makin cemerlang. Berikutnya, terpampang di hadapan, rentetan gerbong bergerak anggun menembus keremangan Stasiun Bekasi. Hatiku jumpalitan.
Bengawan berhenti total. Pintu-pintu gerbongnya membuka, mempersilakan pasukan calon penumpang untuk masuk. Kusaksikan orang-orang padat mengerubungi pintu-pintu itu. Aku dan Bapak pun bergabung dengan segerombolan runyam di muka salah satu pintu. Tak sedikit dari mereka bersikeras mementingkan ego pribadi, berebut naik lebih dulu. Mulailah keras sorak emosional dari segala penjuru meraung berupaya menertibkan, dan terasa olehku genggaman Bapak pada tanganku kian menguat, takut aku hilang terselip.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kisah dari Surga di Bumi
Short StoryDalam setiap petualangan tersirat arti yang memberi penajaman terhadap cara manusia menyikapi hidup. Melalui buku "Kisah dari Surga di Bumi", saya berupaya merefleksikan beberapa serpih petualangan hidupku di negeri Nusantara tercinta. Kisah-kisah d...