DI BAWAH RUMPUN PINUS

6 2 2
                                    

Memancar lembut senyum sang baskara, ramah menyapa seluruh khalayak Kota Purwokerto, kampung halaman ibuku sayang. Dua tahun sudah sejak virus Corona mulai bikin onar aku tak berziarah kepadanya, kota kecil yang nampak hidup selalu dalam buai kedamaian. Di sinilah aku kini. Bermalas-malas di teras rumah Embah yang tenteram, memberi balas senyum kepada mentari dan sapaan kepada para tetangga bersukacita. Adikku ada dalam pangkuanku. Wajah bulatnya tak kalah cerah. Kami berdua sembari bercengkerama tengah menunggui kedua orangtua kami rampung bersiap-siap. Hari ini kami berempat hendak berpetualang ke sela-sela kaki Slamet. Pandemi memang masih berlanjut, walau sedang surut, dan awalnya kami berencana mengurung diri saja di rumah Embah. Tak usah pergi ke mana-manalah. Tapi, bosan benar! Maka dari itu, pada keputusan akhir, Bapak dan Ibu berbelas kasih membawaku dan Dede ke sebuah kebun botani (dengan lebih dulu memperhitungkan strategi yang aman tentunya). Ah, tempat yang cocok untuk melakukan penyegaran otak dan penenangan jiwa. Lagipula, kami memang sungguh membutuhkannya.

Mobil Embah yang kami pinjam melaju santai di antara sejumlah kendaraan tanpa niat membuat macet jalanan kota. Aku duduk manis di muka bersisian dengan Bapak yang bertugas memegang kemudi. Pandang mataku jauh ke depan, memuja keagungan Gunung Slamet nan gagah menjulang. Nampak perutnya yang gendut berselimutkan mega-mega seputih kapas. Tak henti-henti kutatap dia seraya menanggapi ocehan Bapak yang tak henti-henti pula. Ibu sesekali iseng menegur.

"Maskernya dipake, Mbak, entar dimarahin Pak Polisi, lho!"

"Di dalem mobil sendiri masa kagak boleh lepas masker? Engap inih!"

"Pake! Ini, kan, udah di luar!"

Ibu memang suka cerewet mengada-ada sehingga tak jarang mengundang gelak tawa. Tapi, omongannya yang satu ini bisa jadi ada benarnya. Aku takut mobil kami distop Pak Polisi gara-gara dikira tidak mematuhi protokol kesehatan. Ya sudah, kuturuti saja mau Ibu. Sementara itu, Dede tengah asyik mendengarkan musik. Matanya seelok mutiara hitam sebentar-sebentar terpejam. Aku tahu dia sedang berupaya keras menekan rasa mual. Dasar payah! Aku pun ikut memasang earphone di telinga, menikmati lantunan lagu-lagu kalem kesukaanku, sambil masih terus mengagumi gunung tertinggi kedua seantero tanah Jawa. Sial! Rasa mual ternyata juga mulai meraja di perutku (kualat aku pada adikku, atau mungkin karena sudah lama sekali tidak naik mobil). Hal ini tak kuadukan pada Ibu. Gengsi, deh.

"Hidih! Masa udah gede begini masih mabok?!" sungutku dalam kalbu.

Tiga puluh menit telah lalu. Mobil kami mulai melintas masuk wilayah lereng selatan Gunung Slamet. Tak lama, tibalah kami di muka gapura kebun botani. Ibu mengulurkan lembar-lembar uang kepada petugas untuk memperoleh tiket masuk. Setelah itu, mobil kembali laju, melesat di atas aspal kelabu yang membelah rimbunan pinus. Sesuai dengan strategi yang telah kami rancang, kebun raksasa ini sedang sepi pengunjung. Tiada keramaian seperti saat akhir pekan. Ini Senin, kan. Bagus! Jendela mobil langsung kubuka lebar-lebar. Masker kuselipkan di saku celana. Rindu aku menghidu sejuk udara. Rasa mual yang sejak tadi menyerang perlahan pergi, digoyahkan oleh kesegaran suasana. Akan tetapi, masalah baru datang.

"Beh, kebelet kencing, Beh!" rengekku pada Bapak.

"Iya, sabar! Ini bentar lagi!"

Kutahan kencing sambil terus saja melongok ke kiri dan ke kanan, menyaksikan pohon-pohon rindang yang berjajar kokoh menyambut kami dalam seribu bahasa. Sekali kujumpai sebuah pondok kecil suram di bibir jalanan aspal. Dia telah dilupakan. Sayang sekali. Padahal rasanya ingin aku singgah di situ, laksana menjajal tinggal di pelukan rimba.

"Entar ke situ, tuh, ada air terjun," ujar Bapak ketika mobil kami hendak menyeberangi sebuah jembatan pendek. Aku makin bersemangat, dan di sisi lain, makin tidak kuat sebab masih menanggung rasa kebelet.

Kisah dari Surga di BumiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang