Terik bagaskara menyegat kulit tanpa belas kasih siang itu. Namun, tetaplah indah keadaan. Kahyangan biru jernih melarutkan hati sedih. Burung-burung gereja heboh berjingkrak-jingkrak di dedahanan. Layang-layang para bocah harapan negeri mengudara tinggi-tinggi, bermimpi menjangkau ujung angkasa. Bara semangatku bermain bersama semua keceriaan ini bergelora tak kenal surut. "PREIRE! PREIRE!" terdengar suara kakak-beradik yang kukenal serempak meneriakkan namaku, yang selalu saja meleset pengucapannya sebab pengaruh logat Betawi. "IYAK!"Langsung kubanting tas sekolah ke sofa dekat meja belajar, berganti pakaian, lalu berlari ke teras. Dua bocah kampung yang lebih muda dariku itu, Lovinka dan Anto, telah siaga di muka pagar hendak mengajakku bermain gembira. Aku kembali ke dalam sejenak."Bapak, Freire main dulu, ya.""Hmm."Aku melesat ke rak sepatu. Kukenakan sandal jepitku yang ungu berkilau-kilau dan bergegas-gegas keluar pagar.
"AYOK!"Kami bertiga berjalan kaki, terkadang berlari-lari memutari kompleks perumahan. Tukang es krim kami hadang kala kami diserang dahaga. Pohon ceri di bantaran kali kami panjat kala mulai menyerah dengan sengatan surya. Buah-buahnya yang kerdil merah ranum dan manis menambah kepuasanku bermain. Berkejar-kejaran kami sepuas hati. Mandilah kami dalam lautan keringat. Enggan pedulikan sang waktu.
Kami tengah membaur dengan beberapa bocah kampung lainnya yang sedang melepas landaskan layang-layang di suatu tanah lapang. Aku hanya memperhatikan. Belum punya keahlian aku menerbangkan layangan tinggi-tinggi. Aku hanya punya mimpi sejuta angan-angan kini, yang lebih tinggi dari layang-layang itu, yang hendak menggapai angkasa kejayaan."MASIH KURANG TINGGI ONOH! ULUR LAGI BENANGNYA, GOBLOK!"Bocah-bocah asyik sekali menggiring layang-layang nan kian membubung menerjang angin yang menderai-derai. Sampai lupa diri. Demikian pula diriku. Terbuai sejuk udara sore yang menyapu banjir keringat di tubuhku. Kutatap mentari yang sudah siap ternyenyak. Sinarnya tak lagi ganas membakar. Pertanda hari telah berganti senja. Kembalilah aku ke rumah. Lovinka serta Anto setia mengawalku. Di depan pagar nampak Bapak sedang menyiram tumbuh-tumbuhan. "Besok maen lagi, ya, Preire!""Iyak, iyak. Dadaahh!""Daahhh! Dadah juga, Bapaknya Preire!" "Iyaa!" Bapak membalas salam mereka dengan senyum lebar.Dua kakak-beradik itu pun berlari lincah kembali ke rumah mereka.
"Nih, ada surat dari Aida," Bapak memulai percakapan. Disodorkannya sehelai kertas lecak kepadaku."Surat?""Tadi Aida kemari mau ngajak Freire main sepeda."Penasaran, langsung kubaca sehelai kertas yang telah terbuka yang jelas bekas dilipat-lipat awalnya. Bapak tentulah sudah membacanya. Senyum geli tak bisa disembunyikan dari wajahnya."Kenapa, sih?" aku mengonfirmasi alasan Bapak tertawa."Baca aja coba.""Untuk Freire," mulai kubaca baris perrama dalam hati, "ternyata kamu sudah menemukan sahabat yang lain."Aku heran bukan kepalang. Aku melongo seakan tersihir kata-kata yang tak kumengerti itu. Kupandangi Bapak. Itu justru membuatku ikut tersenyum setengah tertawa. Habis aku ditelan keterkejutan dan kebingungan. "Astaga, Pak, kayaknya dia salah paham.""Dikiranya Freire nggak mau main sama dia lagi kali," sambung Bapak."Aduh!"Ya, benar-benar aduh si Aida, saudari dari garis Eyang Kakung sekaligus sahabatku sejak lama. Kami bermain bersama hampir setiap hari kali ini jelas dia cemburu nampaknya. Namun, apa salahku hingga membuatnya kesal begitu rupa? Aku adalah anak netral. Aku bergaul dan bermain riang dengan siapapun yang mengajakku. Bukan maksudku tak ingin bermain lagi dengannya. Asal dia tahu, justru dia tetap kawan yang paling kupercaya. Kembali aku tertawa seraya kepala menggeleng-geleng. Masih heran. Yah, harus segera kuluruskan semua. Namun, niatku itu tak pernah terkatakan. Ada saja halangan yang selalu tak memberi kesempatan padaku untuk menemui kawan karibku. Entah karena aku juga sudah di ambang ujian sekolah atau apalah. Padahal rumah kami hanya terpaut jarak sepuluh meter! Sampai-sampai akupun tak dapat pula bermain dengan bocah-bocah kampung yang ceria itu. Tak dapat lagi aku bersama mereka menggiring surya ke peraduan senjakala. Tak ada lagi bermain. Dan tetap niatku tak terkatakan....
Sepuluh tahun berlalu.
Aku tengah berlesehan di lantai ruang keluarga. Serius aku menghayati dan membandingkan grafik-grafik saham di ponselku. Detik demi detik. Tercerahkanlah isi kepalaku tentang saham apa yang harus lekas kubeli."Lagi apa, Freire?" sontak mendongak. Di hadapanku, berdiri seorang wanita paruh baya. Wajahnya tersenyum lembut memperindah kejelitaannya yang belum juga sirna. Dialah ibunda Aida. Ia cukup sering mampir ke rumahku."Eh, Tante! Lagi belajar aja, Tante," jawabku dengan keramahan yang tulus sembari menyalimi tangannya yang harum semerbak."Tante abis bawain kue, udah dikasih ke bapakmu. Nanti cobain, yaa!""Terima kasih banyak, Tante!""Yoo, sama-sama, Freire! Tante pulang dulu, ya."Sebelum Tante sempat melangkahkan kaki, buru-buru kutanyakan apa yang ingin kutanyakan."Tante, Aida apa kabar?!""Baik, kok. Udah mulai kuliah, lho, dia sekarang.""Oh! Boleh kuminta nomor teleponnya??""Boleh, dong, sayang," bibirnya yang kemerah-merahan tanpa polesan pewarna bibir merekahkan senyum menenangkan, "nanti Tante kirim, ya.""Terima kasih lagi, Tante!" aku nyengir dan Tante minta diri.
Malam harinya, langsung kukirimkan pesan singkat ke nomor telepon sahabat lamaku yang juga adikku."Primisi! Ini Neng Aida?"Cukup lama pesanku baru dibalasnya."HALOOO, FREIREEE!"Ah, tanggapan yang melegakan. Syukurlah. Kawan karibku yang telah lama tenggelam dalam lautan kenangan kini kembali mencapai permukaan penuh kenyataan. Terangkatlah segala memori ketika kami masih dua bocah perempuan yang selalu berseri-seri. Memori melepas landaskan sepeda di tanjakan, mencipta lukisan pegunungan permai, bermain menjadi bidadari-bidadari kahyangan bersayapkan kain-kain neka warna, memetik dan merangkai sekar-sekar segar bermekar... apalagi lah... air mataku mau tumpah. Sungguh masa kecil kami begitu indah. Perbincangan terus berlanjut, hingga rembulan tak kuasa lagi menemani.
Senja hangat berikutnya tiba. Sepasang kawan purba kembali beradu muka di salah satu meja di sebuah restoran. Di hadapanku duduk gadis berwajah bulat menggemaskan. Rambut ikalnya masih yang dulu.
"Tak marah lagi kau padaku?""Engga lah! Yah namanya masih anak-anak dulu, Rei. Waktu itu akunya aja yang lebay," Aida akhirnya mengakui kekeluruannya."Sudah besar kamu sekarang," kataku penuh haru," tapi suaranya nggak berubah.""Yeh, dari dulu Aida mah gini-gini aje, Rei. Cuma makin gendut!"Kami terkekeh riang."Mbak Freire juga masih sama kayak yang dulu! Keliatan seger juga!"Aku cuma bisa tersenyum. Bersama-samalah kami menikmati senja, mengawal mentari dengan sejuta senda gurau hingga ia lelap di ufuk barat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kisah dari Surga di Bumi
ContoDalam setiap petualangan tersirat arti yang memberi penajaman terhadap cara manusia menyikapi hidup. Melalui buku "Kisah dari Surga di Bumi", saya berupaya merefleksikan beberapa serpih petualangan hidupku di negeri Nusantara tercinta. Kisah-kisah d...