Kota Bekasi masih terlena dalam curahan embun fajar. Matahari belum beranjak sepenuhnya dari peraduan. Namun, sepasang bola mataku telah nyalang membuka, mengajak fajar bergembira ria.
"Udah siap semuanya, kan?"
"Udah, Mbak."
"Crayon, pensil warna, buku gambar udah dimasukin, kan?"
"Udehh! Buset, cerewet amat." Raut wajah adikku nampak gemas seakan-akan bernafsu menjambak rambutku. Aku nyengir saja sembari memasukkan beberapa peralatan mandi ke dalam ransel. Sekonyong-konyong Bapak nongol di ambang pintu kamar kami.
"Udah belom? Gitu aja lama banget," Bapak iseng menggerecoki kami yang tengah beres-beres. Kami akan menginap di rumah Eyang (nenek), rumah yang laksana gubuk kecil di tengah rimba raya.
"Lah ini baru kelar. Sabar ngapah," celetuk Dede yang baru usai menarik ritsleting ransel menutup.
"Ayo, kita kemon," sahut Bapak lalu ia menghilang dari ambang pintu. Beberapa detik setelahnya, motor bututnya meraung-raung.
"Itu manasin motor ngegas amat." Aku dan Dede bangkit dari ubin yang menghangat sehabis ditiban pantat-pantat kami. Ransel hijau tua legendaris milik Bapak mendekapku, menumpahkan segala beban yang ditanggungnya. Ransel itu menjadi milikku juga kini sebab aku sudah lebih besar dan pantas memakainya.
Motor masih menderu di pelataran rumah. Asapnya semerbak, namun tak terlalu membikin sesak dan mengusik kesejukan fajar. Sekitar beberapa saat kemudian, aku, Dede, dan Bapak sudah ajek di atas jok motor itu, siap menyongsong Kota Jonggol dengan dikawal oleh surya yang masih setengah bangun dari lelapnya.
Kami mengembara di jalan raya masih agak tenang. Udara tak sedap perpaduan bau sampah dan asap kendaraan senantiasa menyelubungi pengembaraan kami. Aku dan Dede yang membonceng di belakang hanya bisa bercengkerama ria daripada bengong-bengong. Bapak sesekali mengajak bicara agar kami tidak diserang rasa kantuk lalu terpelanting ke aspal kelabu. Kurang lebih satu setengah jam berselang. Welcome to the Jonggol.
Jalan raya dan sekitar nampak lebih asri. Motor kami melaju membelah sawah ladang hijau permai di segala penjuru. Bukit-bukit berbaris membisu di kejauhan, diusik awan kabut yang samar yang lalu-lalang. Berbeloklah motor kami ke sebuah jalan pedesaan yang berlapiskan aspal mulus. Bau tak sedap pergi jauh-jauh sudah. Rumah-rumah khas pedesaan berjajar berseling dengan kebun-kebun lebat. Kujumpai pula tanah lapang bak permadani hijau yang sudah biasa kujumpai ketika sedang bertugas mengawal Bapak ke kota kecil ini. Bocah-bocah kampung ceria menyepak-nyepak bola di atasnya. Sementara surya telah terjaga seutuhnya dan sama ceria dengan mereka.
Tibalah kami di muka sebuah gerbang rombeng yang mengaganga lebar seperti sudah siap menyambut kami. Motor langsung menerobos masuk, bersusah menerjang rumput-rumput tinggi. Suasana kian teduh sebab kami bernaungkan pohon-pohon rindang. Segeralah terlihat sebuah rumah sederhana di tengah rimba. Pohon-pohon subur senantiasa membingkainya di kiri dan kanan. Langit fajar pesta warna biru cemerlang dan mega-mega bak permen kapas raksasa di atasnya. Di teras rumah itu berdirilah Eyang dengan daster birunya yang tak kalah cerah dengan langit. Senyumnya lebar melihat kedua cucunya. Di sebelahnya, ada seorang wanita paruh baya bertubuh kekar yang juga berseri-seri. Dialah yang menjaga Eyang setiap harinya. Turunlah kami dari motor lalu menyalami keduawanita itu.
"Kok Eyang tangannya bau ikan teri yak?" adikku berbisik padaku sambil menahan tawa setelah mencium tangan neneknya itu. Giliranku menyalimi nenekku. Benar beraroma teri.
"Biarin dah."
"Duduk, neng!" ajak Mak Erot sang wanita berbadan gempal dengan suara lantangnya.
"Mana tadi barang-barangnya yang mau dikasihin?" Bapak berbisik kepadaku dan Dede. Langsung kami keluarkan segala macam peralatan sekolah dari ranselku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kisah dari Surga di Bumi
Short StoryDalam setiap petualangan tersirat arti yang memberi penajaman terhadap cara manusia menyikapi hidup. Melalui buku "Kisah dari Surga di Bumi", saya berupaya merefleksikan beberapa serpih petualangan hidupku di negeri Nusantara tercinta. Kisah-kisah d...