6. Pelampiasan Amarah

8 0 0
                                    

Tumpukkan jarik yang telah terlipat rapi barusan Gayatri ambil untuk ditaruh di lemari pakaiannya. Yu Asri tidak menemaninya karena harus pergi ke pasar membeli keperluan Nyonyanya.

“Gayatri!” panggil Abi yang telah menunggu di depan kamar istrinya tersebut.

Dengan reflek, gadis itu menunduk agar tidak menatap wajah suaminya. “Kangmas,” sahutnya lembut. Abi lalu berjalan mendekati Gayatri, tangannya tetap di belakang dan pancaran matanya terus tertuju kepada istrinya.

“Kita perlu bicara sebentar,” ujar Abi diangguki singkat oleh Gayatri.

Mereka pun masuk ke dalam kamar, Abi duduk di ranjang, sementara Gayatri memilih melipat lututnya di lantai dekat kaki suaminya. Ia tidak tahu apa yang ingin disampaikan suaminya sampai harus pulang lebih cepat dari hari biasa.

“Saya telah menerima lamaran keluarga Widyasa,” ungkap suaminya membuat Gayatri sontak mengangkat kepalanya.

Ia tentu tahu betul apa artinya, Ratna akan segera menikah itukah alasannya Abi memberitahu. Tetapi, Gayatri tidak menyangka akan secepat itu Abi menikahkan Ratna yang baru beranjak usia 14 tahun.

“Apa kangmas sudah menyampaikan ini pada Ratna?” tanya Gayatri.

“Belum, karena itu bisakah kamu yang memberitahunya?”

“Baik, kangmas.”

Terdengar suara helaan napas Panjang di tengah kesunyian, “Tri, tolong ajarkan Ratna! Setidaknya, kita bisa memberikan dia pelajaran yang baik sebelum pergi ke rumah suaminya,” pinta Abi tidak mau anaknya dipermalukan nantinya.

“Iya, kangmas.”

Tok! Tok!

Pemilik kamar yang diketuk segera membukakan pintunya, terlihat Ratna yang sedikit berkeringat dan gugup di balik celah pintu saat Gayatri tak sengaja menemukan wajahnya.
Gayatri memang sengaja mencuri kesempatan untuk datang ke sini seusai makan malam.

“Bu, mari masuk!” Ratna mempersilahkan Gayatri.

Tanpa tahu apa-apa Ratna menerima kedatangan Gayatri dengan agak senang. Matanya beberapa kali meilirik ke arah atas lemari, Gayatri sadar, tetapi diam saja.

“Ada apa, Bu?” Selidik Ratna melihat raut muka Gayatri tidak Nampak ceria.

“Jangan panggil saya Ibu jika sedang berdua! Saya dan kamu usianya tidak terlalu jauh,” jelas Gayatri.

“Tetapi, itu ndak sopan,” balas Ratna merasa sungkan.

“Ndak apa-apa, selama ndak ada yang tahu.” Ratna pun menurut, “Lalu, harus saya panggil apa?” tanyanya lagi.

Gayatri mengukir lengkungan indah di bibir mungilnya, “Mbak.” Ratna pun mengangguk dan mencoba melakukannya, "Mbak.”

Mereka berdua akhirnya saling tersenyum. Hubungan ini menjadi lebih intim dari sebelumnya. Ratna senang mendapatkan Kakak perempuan setelah lama menjadi si sulung.

“Ratna, saya ndak tahu kamu sudah siapa atau belum, tetapi Ramamu akan segera menikahkanmu dengan keluarga Widyasa.” Gayatri menyampaikan semuanya.

Keceriaan yang tadinya ada perlahan sirna diganti oleh kekecawaan mendalam yang Ratna  bingung untuk ungkapkan. Ia mengerti jika waktunya segera tiba, namun tidak secepat ini.

“Apa dulu mbak juga seperti saya saat merespon berita pernikahan ini?”

“Sepertinya.” Gayatri sudah lupa, padahal ia juga belum lama menikah.

Ratna memaksakan senyumnya, ia kira ia harus terlihat bahagia supaya saat Gayatri menceritakannya pada sang Ayah, Ayahnya tidak perlu merasa khawatir.

“Kita masih muda, tetapi harus mengemban tanggung jawab sebagai seorang istri,” ungkap Gayatri sendu sambil memegang lengan Ratna.

“Mbak, apa mbak telah mencintai Rama?” tanya Ratna penasaran.

“Belum.”

“Lalu, bagaimana dengan saya, mbak? Saya takut ndak bisa mencintai calon suami saya.” Ratna menuangkan rasa sedihnya.

Gayatri tidak punya nasehat apa-apa untuk dibagikan pada Ratna. Sebuah pelukan hangatlah yang bisa ia jadikan sebagai obat agar Ratna setidaknya sedikit tenang.

“Kita ndak punya pilihan lain,” bisik Gayatri di telinga Ratna.

Setelah beberapa saat mereka melepas pelukan masing-masing. Ratna tidak terlalu risau lagi seperti sebelumnya. Ia kemudian berjalan menuju lemari dan berjinjit untuk menggapai sesuatu di atas. Lalu, sebuah buku yang telah ada di tangannya ia serahkan pada Gayatri.

“Ratna masih suka membaca diam-diam.” Bongkar Ratna tanpa sedikitpun rasa takut untuk dilaporkan.

“Ratna juga pernah mengirim artikel ke surat kabar, tetapi belum ada yang diterima,” lanjut Ratna benar-benar membuat Gayatri syok.
Ternyata, Ratna lebih berani dibandingkan dirinya. Namun, di sisi lain ia juga khawatir kalau gadis itu bisa mendapatkan masalah karena terlalu menentang aturan yang ada dalam lingkungan mereka.

“Kenapa kamu memberitahukan rahasiamu?”

“Karena kita teman,” jawab Ratna disertai senyum lebar.

Jika Gayatri bisa, ia ingin sekali membuat gadis ini terus di sampingnya, menjaganya. Ia mau membagi segala suka, duka bersamanya. Baru kali ini, Gayatri merasa nyaman di rumah ini.
Mungkin, bagi Gayatri arti sebuah teman begitulah berharga.

Malam begitu Panjang bagi Abi yang memutuskan menghabiskan waktu di ruang kerja agar bisa menyelesaikan semua pekerjaannya. Meski sudah agak mengantuk, ia tetap berusaha membuka matanya lebar-lebar.

Tok! Tok!

“Masuk!” Abi mempersilahkan seraya memijat keningnya begitu letih.

Seorang gadis yang memakai kebaya putih dengan rambut terurai itu yang datang malam-malam ke sini hanya untuk membawakan secangkir teh hangat.

“Udara begitu dingin, jadi Gayatri membuatkannya untuk kangmas,” jelasnya selesai menyerahkan teh kepada suaminya.

“Kenapa belum tidur?” tanya Abi heran gadis itu masih terjaga selarut ini.

“Baru selesai menyulam.”

“Menyulam? Sampai malam?”

“Gayatri ndak bisa tidur.” Jujurnya melarutkan kecurigaan Abi.
Pria itu lalu menyesap teh yang khusus dibuatkan oleh Gayatri. Matanya sesekali tertuju pada Gayatri yang sedang memperhatikan kertas-kertas di mejanya. Gadis itu seakan sedang membaca tulisan-tulisan Belanda yang ia ketik. Ia cukup ragu jika Gayatri paham.

“Tidurlah sekarang!” suruh Abi menaruh sisa teh Kembali di meja.

“Apa Gayatri bisa bertanya sesuatu?”

“Hmm? Tentu.” Abi memasang telinganya untuk mendengar pertanyaan dari Gayatri.

“Kenapa kangmas memilih menikahi saya? Padahal, banyak Wanita yang lebih bisa menjadi Ibu bagi anak-anak kangmas.”

“Karena wajah kamu sedikit mirip dengan Sekar, jadi saya pikir anak-anak bisa lebih mudah menerima kamu dibanding yang lain.” Abi menjelaskannya tanpa berhenti menatap lawan bicaranya.

Gayatri mengepal erat tangannya, jadi hanya karena ia mirip. Jika wajah ini nantinya menua dan tak menunjukkan lagi kemiripan dengan wajah Sekar semasa muda, pasti Abi tidak akan lagi mau melihatnya.

“Apa ada lagi yang ingin kamu tanyakan?”

“Kalau begitu, kenapa kangmas tidak mencintai saya selayaknya kangmas mencintai mbak Sekar? Bukankah kami mirip?” sindir Gayatri tanpa peduli sikapnya yang keterlaluan.

Ia mungkin terlihat mengemis, tetapi Gayatri Lelah jika terus hidup seperti ini. “Itu berbeda, Tri.”

“Benarkah? Jika begitu tolong beritahu pada Ibu kalau kangmas ndak ingin menyentuh saya, jadi ndak ada yang akan mengatakan saya barang ‘rusak’.” Gayatri meluapkan emosinya, entah kenapa ia begitu temperamental malam ini.

Abi pun bangkit dari duduknya dan menatap Gayatri tajam, tidak menyangka gadis itu menjadi kurang ajar padanya.

“Di mana sopan santunmu? Apa pantas mengangkat nada bicaramu pada suamimu?”

“Ndak, Gayatri tahu ndak pantas. Tetapi, apa pantas kangmas memperlakukan Gayatri tidak adil seperti ini?”

Istri : Bukan Yang PertamaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang