1. Hari Pertama Sebagai Istri

8 0 0
                                    

1912

"Gayatri, jadilah gadis yang baik seperti yang telah Ibu ajarkan," ucap wanita paruh baya dengan rambut di sanggul yang mulai beruban dan mengenakan kebaya biru muda sederhana miliknya. Ia memberitahu kepada putrinya setelah suaminya menerima lamaran dari keluarga Jayantaka.

Keraguan muncul di kedua bola mata hitam yang perlahan berair, Ibunya tahu akan hal itu, "Unggah-ungguh jangan dilupakan ya, nduk! Kamu sudah besar, biasakan untuk tidak menangis juga. "

Gayatri terpaksa mengangguk agar sang Ibu tak khawatir. Ia sekarang mengkhawatirkan nasibnya setelah menikah. Apakah ia yang baru memasuki akil balig bisa menjadi istri yang baik?

"Gayatri takut." Singkatnya dalam hati.

***

Semilir udara pagi memasuki celah jendela kayu bersama cahaya mentari yang menerangi kamar milik Gayatri.
Mata sembab dan kantung mata yang tebal memberitahukan bahwa semalam tidak ada yang namanya tidur baginya.

Pernikahan besar telah dilakukan, semua berjalan sangat meriah, tetapi setelah itu ia malah berakhir dalam dinginnya lantai dan isakan tangis.
Semalam seharusnya menjadi malam pertamanya, namun pria yang telah menjadi suaminya mengatakan bahwa ia tidak akan menyentuh dirinya.

Alasannya begitu menyakitkan, ia masih mencintai istri pertamanya yang baru saja meninggal. Ia hanya meminta agar Gayatri bisa menggantikan posisi Ibu bagi mereka.

Suara pintu membangunkannya dari lamunan, di sana abdi dalemnya datang untuk mempersiapkan dirinya menghadap Ibu mertua. Semua masih terasa asing, ia belum terbiasa.

"Dia bukan nyonya, dia hanya Ibu pengganti." Perjelas Abimana Surya Jayantaka, suami Gayatri. Ia sedang berbincang berdua bersama Ibunya di pondok ditemani teh dan kue basah.

Air muka sang Ibu langsung berubah, ia tidak setuju pada perkataan Abi yang begitu tidak baik.

"Bagaimanapun, Gayatri adalah istrimu. Setidaknya, berikan dia haknya, nduk." Nasehat Rukmini lembut. Ia menginginkan putranya melupakan Sekar, istri pertamanya. Ia lelah melihat pria itu larut dalam kesedihannya.

"Apa dia bisa menggantikan posisi Sekar dalam hatiku, Bu?" tanya Abi yang sudah pasti jawabannya tidak.

Kedatangan Gayatri menghentikan pembicaraan mereka. Rukmini seketika memuji kecantikan Gayatri yang dibalut kebaya hijau muda polos. Lekukan tubuh gadis itu memang belum terlalu nampak, tetapi Rukmini yakin ia akan memiliki kemolekan yang luar biasa.

"Kemari, nduk!" perintah Rukmini kepada Gayatri yang sedang berjongkok dan memberi salam.

Abi sama sekali tidak melirik sedikitpun pada istrinya. Ia terus membuang muka ke arah lain. Gayatri pun menghampiri Ibu mertuanya perlahan, lalu memberi sungkeman. Tata krama yang ditunjukkan membuat Rukmini senang, walaupun gadis itu terlahir dalam darah campuran.

"Sehat, nduk?" Rukmini bertanya seusai mengusap lembut puncak kepala Gayatri.

"Nggih, Bu," jawabnya sopan.

Sama seperti Abi, Gayatri juga tidak ingin menatap wajah suaminya. Ia masih takut dan bingung harus apa. Disaat-saat seperti ini ia jadi rindu rumahnya, Ibu, dan Rama.

Percakapan lalu kembali dimulai dengan Rukmini melemparkan pertanyaan mengenai cucu-cucunya yang akan segera diasuh oleh Gayatri.
Sejujurnya, Gayatri tidak pintar mengurus anak kecil dan di tempat tinggalnya ia lebih sering bergaul dengan orang-orang seusianya.
Bagaimana caranya ia menjadi seorang Ibu jika begini?

"Kamu tenang saja, nduk. Arum, Ratna, dan Galih adalah anak-anak yang baik. Kamu ndak akan kesusahan merawat mereka, nduk," ucap Rukmini menenangkan Gayatri.

"Nggih, Bu. Gayatri akan merawat mereka baik-baik," balasnya.

Tanpa sadar, Abi menoleh ke arah Gayatri. Entah bagaimana nantinya gadis muda tersebut menjalani kehidupannya sebagai seorang Ibu. Abi sedikit khawatir.

***

Perjalanan menuju rumah utama terasa begitu berat bagi Gayatri. Ia belum siap menemui anak-anak tirinya. Bahkan genangan air mata sudah menghiasi setiap langkahnya. Ia hanya seorang gadis berusia 16 tahun, ia tidak mengerti tentang semua ini.

"Raden, jangan lari-lari! Nanti jatuh," pinta pelayan perempuan yang mengejar anak laki-laki di depannya.

Anak itu menuju ke arah Gayatri yang sedang melamun. Seperti yang diperkirakan, Gayatri tidak sadar dan mereka saling bertabrakan. Gayatri untungnya bisa menahan tubuh, sementara anak tersebut jatuh cukup kencang ke lantai.

Buru-buru pelayan perempuan itu menghampiri tuannya yang meringis kesakitan. Tetapi, Gayatri tetap berdiri dan menatap sengit anak di bawahnya.

"Aduh, raden. Sudah mbok bilang jangan lari-lari dalam rumah!" keluh pelayannya membersihkan darah yang menetes dari lutut tuannya.

Sedetik kemudian, ia langsung memberi salam pada Gayatri dengan panik. Ia takut akan mendapat amukan karena tidak becus mengurus raden Galih.

"Ampun, ndoro Ayu."

Tidak ada balasan apapun, Gayatri malah mengulurkan tangan kepada anak tirinya. Namun, tidak ada senyuman ramah dibibirnya, sehingga anak tersebut tidak mau menerima uluran tangannya.

"Mbok," panggil Galih kepada pelayannya sendiri. Ia lebih memilih dibantu berdiri dengan perempuan paruh baya tersebut dibandingkan oleh Gayatri.

"Saya Ibu baru kamu, raden Galih," ujar Gayatri dingin.

Ia benar-benar sangat buruk untuk hal ini. Entah anak siapa yang bisa ia taklukan, ia saja tidak percaya diri.
"Saya tahu." Jawaban singkat Galih tanpa adanya kesopanan.

Unggah-ungguh yang tidak benar, apa tidak ada yang mengajarinya? Atau mungkin ia memang disuruh berada di sini untuk mendidiknya.

"Galih, di mana kedua mbakmu? Ibu mau bertemu."

Karena lamanya sang tuan diam, pelayannya berinisiatif menjawab. Tetapi, langsung dihentikan oleh Gayatri yang tak suka.

"Saya tidak bertanya pada kamu."

"Baik, ndoro Ayu," balas pelayannya segera.

"Saya ndak tahu. Mbak biasanya keluyuran sendiri," jawab Galih terpaksa karena takut pelayannya dimarahi.

Gayatri cukup lama memandang anak tersebut. Rasanya sangatlah canggung. Ia tidak memiliki sifat keibuan sama sekali. Setelah itu, Gayatri pergi berlalu tanpa berucap apa-apa lagi.

Tidak ada pilihan untuknya, ia dipinang dan dalam sekejap memegang tanggung jawab besar. Gayatri berharap ia mati saja kalau begitu, atau setidaknya nikahkan ia pada pemuda yang belum punya anak.

"Bu, Gayatri ndak bisa. Gayatri ndak bisa jadi Ibu anak-anak kangmas," gumam Gayatri menangis di teras tanpa diketahui siapapun.

***

Mentari mulai redup, hawa di sekitar berubah lebih sejuk, para petani kembali pulang ke rumah masing-masing.
Sementara, seperti biasa di kediaman Abimana, makan malam baru disiapkan. Aturan yang berlaku mereka harus makan bersama-sama, tidak ada yang boleh meminta makanan di antar ke kamar.

Suasana begitu canggung ketika Gayatri menunggu hidangan makanan bersama anggota keluarga lain. Tidak ada percakapan, Abimana memilih membaca surat kabar, dan ketiga anak itu bergurau di meja makan.
Tidak ada yang peduli pada Gayatri.

Setelah makanan telah dihidangkan semua, ketiga anak-anak tersebut tetap saling bercanda, sedangkan Abi tidak berniat menegur sama sekali. Gayatri jadi heran dengan didikan dalam keluarga ini. Abi juga tidak keras kepada anak-anaknya.

"Unggah-ungguh kita melarang untuk berbicara selama makan! Apa ndak pernah diajarkan?" tanya Gayatri tajam.

"Kamu di sini untuk mengajarkan itu! Jadi, seharusnya kamu memberitahu mereka sebelum makan malam!" tegur Abi malah menyalahkan Gayatri.

"Kangmas ...."

"Ndak bisa toh ngurus anak-anak? Sia-sia nikah denganmu."

Istri : Bukan Yang PertamaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang