Minho terengah-engah mengatur nafasnya dengan tangan yang masih menempel pada tubuh pintu gerbang setelah beberapa waktu lalu ia dorong gerbang itu dengan sekuat tenaga untuk masuk kedalam sini.
Memejamkan matanya, merasa pusing dan lelah diwaktu yang bersamaan. Energinya terkuras habis, mentalnya terguncang hebat. Ia harap mereka bisa terbebas dari penduduk desa dan entah tempat apa lagi yang mereka singgahi, setidaknya untuk sementara mereka bisa merasa aman disini sekarang.
"Minho... Lihat!". Felix berujar didepannya.
"A-aku datang". Minho dengan lesu menghampiri Felix.
Minho berbalik, tak sengaja mereka masuk kesebuah tempat yaitu gereja didesa tersebut, mungkin ini yang Clerve maksud sebelumnya. Tempatnya tidak jauh beda dengan keadaan diluar sana, kacau.
Hanya saja tempat ini sementara lebih aman dari penduduk kesetanan diluar sana, jadi keduanya bisa sedikit bernafas lega.
"Wow". Felix mengeluarkan suara takjubnya saat menjelelajahi ruangan megah itu.
"Kenapa ada lilin disini?".
"Itu untuk menunjukkan bahwa kamu sedang memikirkan seseorang". Jawab Minho sekenanya, sambil tetap mengamati sekitar. Biasanya mereka akan menyalan lilin itu untuk meminta perlindungan atau sekedar menyalurkan rasa rindu pada seseorang tang tidak bisa mereka lihat atau temui kembali.
"Oh... Bisakah aku menyalakannya?".
"Jika kamu ingin, boleh saja... Asal hati-hati dengan lelehan dan juga apinya". Ucap Minho memperingati.
"Terima kasih!". Dengan riang Felix pergi ke tempat dimana lilin-lilin itu berada, ia menyalakan satu lilin yang tersisa. "Untuk mummy dan ayah".
"Awasi mereka". Minho bergumam menambahkan.
Kembali mereka menyusuri seisi ruangan, setidaknya mereka bisa menemukan sesuatu yang bisa berguna.
"Suara disini, lucu sekali. Apa itu?".
"Itu gema".
"Halo!". Felix berucap cukup keras sehingga menimbulkan pantulan suaranya sendiri yang memenuhi seisi ruangan megah dan sunyi tersebut.
"Felix! mungkin ada orang disini!". Minho berucap kesal sekaligus panik, tentu Minho tak ingin adegan kejar-kerjaran kembali terulang.
"Oh, kalung". Felix menunjuk sesuatu diatas meja lain.
"Itu rosario". Koreksi Minho lagi, lalu mengambilnya.
Felix memiringkan kepalanya. "Untuk apa?".
"Berdo'a".
"Apa bisa aku menggunakannya untuk berbicara dengan Mummy dan ayah?".
"Kita akan melakukannya bersama". Minho menuntun Felix pada sebuah tempat khusus dengan lilin disetiap bagian.
Minho menundukkan kepalanya untuk memulai. "Maafkan aku untuk... Kejahatan yang baru saja aku lakukan... Aku tidak pernah-". Disela-sela kegiatannya Felix berucap.
"Minho, kamu menggenggamku terlalu kuat". Felix berucap dengan suara tercekat.
"Ah, eh... Maaf". Minho mengendurkan genggamannya pada Felix yang tanpa sadar mengerat saat mengingat dosa yang ia perbuat
Minho tak melanjutkan do'anya, sulit untuknya mengunggapkan bagaimana perasaanya namun ia percaya Tuhan pasti mengerti dirinya.
"Tidak ada apapun disini... Kita tidak bisa bertahan lama, ayo cari jalan keluar". Minho mulai mengintrupsi, namun belum lebih jauh menyusuri lebih dalam seruan Felix membuatnya menoleh.
KAMU SEDANG MEMBACA
A PLAGUE TALE : INNOCENCE
Science FictionJauh sebelum penyakit Pes bisa ditangani, sebuah wabah yang sempat menerpa Eropa pada tahun 1347 berhasil renggut ratusan juta nyawa manusia yang mengidapnya, mereka menyebutnya sebagai wabah Black Death. Kerajaan Timur menjadi salah satu wilayah y...