VIII - The Path Before Us : I

22 7 0
                                    

Perjalan kali ini lebih tenang, tanpa kejaran yang ekstrim, tanpa mengendap-endap jadi tak perlu lagi sakit kaki maupun pinggang

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Perjalan kali ini lebih tenang, tanpa kejaran yang ekstrim, tanpa mengendap-endap jadi tak perlu lagi sakit kaki maupun pinggang. Tapi tetap saja Minho harus waspada, tangannya yang satu menggenggam tangan mungil Felix dan tangan satunya lagi memegang sling barunya.

Tapi perjalanan ini terlalu hening untuk Jisung, jadi dia mencoba untuk membuka percakapan.

"Jadi coba katakan padaku, kenapa kalian selalu berurusan dengan para inquisisi itu. Seberapa penting bocah ini".

Ucapannya agak sarkas, tapi Minho maklum untuk itu. Dan Minho bingung bagaimana menjawab pertanyaan itu, lebih tepatnya ia tak mau memberitahu lebih banyak hal pada Jisung.

"Itu rumit untuk dijelaskan. Oh ya, terus kakakmu bagaimana?". Ujarnya mengalihkan topik. "Dia akan baik-baik saja?".

"Dia akan menyusul kita nanti". Ujarnya santai tanpa curiga.

"Dia benar-benar menolong hidup kita, itu tak bisa dipercaya..".

"Hey, jangan terlalu mengambil hati". Minho mengerutkan dahi.

"Dia akan menghancurkan hati kecilmu yang malang". Minho semakin menukikkan alis tebalnya.

"Hah? Tapi aku bukan-".

"Hey ada rumah!". Felix tak mengindahkan ucapan kakaknya yang ingin menyangkal pikiran aneh Jisung.

Dan seterusnya mereka lebih fokus pada bangunan di depan, meninggalkan topik yang menggantung dan sangat ambigu. Mungkin hanya bagi Minho.
Minho hanya merasa berhutang budi.

~

"Whoaa". Seru Felix saat melihat rumah lama di depan matanya.

Rumah itu bisa dibilang cukup besar, terdapat kincir air di sampingnya yang nampaknya masih mampu berfungsi. Terdapat banyak lubang di bagian tembok rumah, atapnya pun bercelah.

Tapi untuk tempat tinggal sementara mungkin cukup.

"Apa dia sering seperti itu?".

Minho mengerti saat arah pandang Jisung mengarah pada Felix yang sepertinya semangat sekali melihat rumah rusak itu. Ia tersenyum melihat mata berbinar Felix.

"Dia jarang melihat dunia luar".

"Tapi kali ini dunia bukan saat yang baik untuk di lihat".

Minho mengangguk mengiyakan. Tapi apalah daya, semua orang tidak ada yang tahu wabah seperti ini akan menyerang kita. Dan bukan mau Minho untuk memperlihatkan sisi buruk dunia ini, bahkan untuk yang pertama kalinya pada adiknya itu.

Felix tiba-tiba melepas genggaman tangannya dengan Minho, ia berlari kencang saat jarang antara mereka dan pintu rumah itu tak jauh lagi.

"Yang sampai duluan, dia yang menang". Tapi dia berbicara sambil memulai larinya.

A PLAGUE TALE : INNOCENCETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang