Kupandangi buku dan papan tulis secara bergantian. Hasil yang dituliskan bu Sapti sangat berbeda dengan perhitunganku. Matematika minat memang sangat tidak meminatkan jiwa belajar.
Saat masuk SMA aku mengira matematika minat dan matematika wajib bisa dipilih salah satu, ternyata dua-duanya masuk mata pelajaran wajib khususnya bagi peminatan IPA. Satu matematika saja sudah membuat pusing apalagi ini dua.
Pikiranku memutar kembali pada masa awal pendaftaran SMA. Bisa-bisanya aku tanpa ragu mencoret dan menyetujui peminatan Ilmu Pengetahuan Alam untuk penjurusan selama di SMA. Jangan salah, aku adalah salah satu dari banyaknya orang yang termakan omongan bahwa jurusan IPA adalah jurusan favorit dan mudah masuk kuliah jalur manapun.
Sekarang boro-boro mikir kuliah dimana dengan jurusan apa, aku lebih risau mengenai nilai. Universitas dan jurusan apa yang mau menampung nilaiku yang pas-pasan itu.
"Bu, Akmal curang! Dia bener semua," protes Akbar tak terima.
Spontan kupandangi punyaku. Ih, menyebalkan! Dari lima soal cuma benar dua, astaga!
"Tuh, anak makan apa sih." Hanum memandang Akmal yang maju ke depan menunjukkan hasil kerjanya pada bu Sapti.
Aku akui, Akmal memang pintar. Gen ibunya kuat sekali. Konon katanya, ibu Akmal adalah seorang kepala sekolah dasar swasta. Muridnya hampir mencapai ribuan dengan jumlah per jenjang kelas seratus anak. Ayahnya pun penyumbang besar sekolah tersebut. Dana yang diperoleh sebagian dari yayasan dan bisnis pertanian yang dikelola keluarga.
Wah, lihatlah pemuda itu. Senyumnya merekah bak matahari setelah hujan pagi hari ini. Bu Sapti memuji Akmal seperti biasa. Aku yakin jiwa percaya dirinya semakin melambung tinggi.
Akmal nggak kena 'ain apa ya? Bener-bener dah, sempurna banget dilihatnya.
"Pelajaran kali ini sampai bab 3, sub bab 2. Minggu depan kita adakan uji coba latihan soal harian untuk persiapan ulangan harian. Kalau ada pertanyaan silakan hubungi ibu melalui whatsapp grub karena ibu tidak menerima chat pribadi."
Setelah doa sesudah majelis dilantunkan, bu Sapti keluar kemudian orang-orang berhamburan. Ada yang mengambil bekal dari tas dan makan di kelas, melipir ke kantin, mengobrol di teras kelas, main bareng mobile legend. Ada juga yang menyedekahkan tiap-tiap sendi tulang melalui salat dhuha atau menambah wawasan dengan membaca buku di perpustakaan.
"Panas banget sih, perasaan tadi pagi hujan." Zahira mengikat rambut panjangnya, menampakkan leher putih jenjang yang langsung membuat kaum adam di kelas menoleh padanya.
"Habis istirahat jam ke dua ada razia dari Arif. Hati-hati aja yang bawa make up, rambut panjang buat laki-laki, rok yang kependekan, atau ada barang-barang aneh kayak korek, rokok. Kalau disita sama pak Hadi sulit balikinnya," peringat Akmal.
"Emang baik banget sobat gua." Akbar berdecak kagum sambil menepuk pundak Akmal. "Ketos mana lagi yang mau ada razia tapi sebelum razia ngomong dulu biar nggak ada yang kena hukum."
Aku menyenggol Hanum dengan siku saat kudapati dirinya tengah memandang Akmal penuh kagum. "Hati-hati matanya bintitan," bisikku.
Secara tersirat semua hal yang berkaitan dengan Akmal adalah dambaan. Jika lelaki itu bak nabi Yusuf, aku tidak harus menjadi Zulaikha demi mengejarnya, kan?
Biarlah para perempuan seperti Zahira yang memiliki cipratan kecantikan dari Cleopatra, Hanum yang pintarnya seperti Aisyah binti Abu Bakar, perempuan lain yang memiliki jiwa independent Khadijah, atau hafidzah Al Qur'an layaknya Hafshah binti Umar yang mau dan ingin bersanding dengannya.
"Ta, menurutmu Akmal punya pacar nggak?" Hanum bertanya.
Aku melirik Saza yang kemudian disahuti gelengan. "Tanya Melda, dia kan sepupunya Akmal."
KAMU SEDANG MEMBACA
Sunshine
SpiritualPernah mendengar atau membaca Qs. Al Isra' ayat 32? Dalil itu seperti perisai bagi seorang Zetadira Tazkiya di tengah banyaknya pemuda pemudi di zaman ini yang mengikat hubungan tabu berlandaskan cinta. Sampai suatu ketika, Akmal Faris Abhicandra me...