Nomor Tiga (Part 2)

37 2 1
                                    

Dua tahun berada di kelas yang sama dengan Akmal, aku tahu seperti apa tingkah absurdnya yang tidak ditunjukkan di depan khalayak karena image anggota OSIS dan sekarang malah menjadi ketua OSIS.

Salah satunya dasi yang jarang dicuci. Akmal lebih sering menyemprot dasinya dengan minyak wangi daripada mencucinya. Begitupun jas OSIS yang selalu cowok itu pakai.

Asal kalian tahu ya, jas itu tidak akan dicuci sebelum terkena noda makanan. Bahkan bisa sampai dua bulan tidak dicuci padahal sering dipakai rapat OSIS.

"Karena kamu melihat bunga mekar hari ini, bukan berarti bunga itu tidak pernah bertumbuh sebelumnya," ucap mas Amru menutup obrolan kami sampai aku tiba di gerbang sekolah.

Dengan setengah hati aku tetap mengantarkan kotak bekal titipan ibu untuk diberikan pada Akmal. Aku jadi merasa tidak enak kalau menyuruh mas Amru melakukan ini. Lagi pula kalau dipikir-pikir benar kata mas Amru, Akmal itu baik.

Dia menolongku saat razia polisi kemarin. Mungkin kalau tidak ada dia aku akan jadi bahan tontonan karena menangis melihat motorku diangkut mobil polisi.

Aku menyapu pandangan ke sekitar. Biasanya Akmal nongkrong di warung dekat sekolah, tetapi aku lihat tadi dia tidak ada di sana. Beralih ke ruang OSIS, juga tidak ada. Biasanya jam segini cowok itu sudah tiba, namun kenapa sekarang ia tidak ada.

Aku memegang erat bekal makan berbentuk kotak warna merah sejajar dengan perut. Niat hati ingin memberi bekal ini saat di kelas malah bertemu orangnya di koridor. Alhasil, lagi-lagi aku harus melihat pemandangan dimana Akmal akan disapa oleh banyak orang dan dia pun membalas dengan senyum secerah matahari pagi ini.

Kalau bukan karena ibu, aku tidak mau memberi bekal ini kepada seorang Akmal Faris. Dia bisa mengira aku adalah salah satu fansnya juga. Argh, menyebalkan!

Punggung tegap itu terus berjalan dengan percaya diri. Aku mengikis jarak dengan berjalan lambat di belakangnya.

Samar-samar tercium aroma woody yang identik dengan wangi pepohonan seperti pohon cendana atau pihon pinus. Mengingatkanku tentang suasana setelah hujan dengan tanah basah, dedaunan, dan pohon yang masih terdapat sisa-sisa rintik.

Wangi seperti ini jarang aku temui. Setiap orang punya wangi identik mereka sendiri dan aroma ini akan selalu mengingatkanku pada Akmal.

"Hust!" lirihku sambil mengedarkan pandangan ke sekitar guna memastikan keadaan benar-benar sepi. Bisa kacau kalau ada yang melihatku memberi bekal makanan ke Akmal. Mungkin aku akan diseruduk kaum hawa seantero SMA Bimantara.

"Akmal," panggilku lagi tetapi tetap tidak ada respon.

"Heh! Akmal." Kali ini panggilanku direspon olehnya. Akmal berbalik dan menatapku sambil berkata, "Apa?"

"Nih, buat kamu!" Tanpa basa-basi kusodorkan bekal makanan itu padanya dan langsung beranjak pergi. Agak kasar memang.

"Eits! Mau kemana?" Akmal lebih dulu menahan dengan menarik tas ranselku dari belakang. Membuatku hampir terjengkang. Ya Allah ini anak, tidak bisakah bersikap lebih baik?

"Lepasin!" Aku mencak-mencak berusaha melepaskan tangan Akmal dari tasku.

"Ini apa maksudnya?" Akmal mengangkat kotak bekal, menunjukkannya kepadaku.

SunshineTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang