4. Hipotesis

39 1 1
                                    

"Ganti tangan kanan! Satu ... dua ... tiga ... empat ...."

Suara bariton itu mendominasi penjuru lapangan. Atensi yang diberikan Arif cukup mampu membuat berisik-berisik barisan belakang terdengar samar. Namun sepertinya hal tersebut tidak mampu membuat anggota kelasnya fokus menjalani pemanasan saat ini.

"Sekarang bagian kaki!" Arif memberi contoh dengan menekuk kaki kanannya ke belakang diikuti lainnya. "Mulai! Satu ... dua ... tiga ...."

Zahira menurunkan kakinya sebelum hitungan benar-benar selesai lalu mengelap keringat di wajah dengan lengan baju. Kulit putihnya terlihat memerah dibawah terik matahari. Dia memegang pipi dengan kedua tangan. Merasakan bagaimana kulitnya merasa terpanggang.

Sementara itu, di barisan kedua dari pojok kanan ada Melda yang sibuk merapikan jilbab. Biasanya para siswi mengenakan jilbab instan untuk pelajaran olahraga, tetapi Melda lupa membawanya. Alhasil gadis itu harus mengenakan jilbab segiempat yang sangat merepotkan untuk dipakai olahraga.

Usai pemanasan, dilanjutkan dengan lari keliling lapangan sebanyak tujuh kali. Barisan pertama dimulai dari laki-laki, dilanjutkan deret perempuan.

"Capek," keluh Saza ketika selesai berlari dan ikut berselonjor di pinggir lapangan.

Pak Hedi dari sudut lapangan datang dengan membawa buku absensi dan nilai. "Hari ini kita ada penilaian bola basket. Masing-masing dapat kesempatan sepuluh kali memasukkan bola ke ring. Sekalian bapak minta tolong rekap nilai di absensi. Akmal nanti dibantu, ya"

Akmal yang sedang mengobrol dengan Arif pun teralihkan. "Iya, Pak. Siap!"

"Yok, merapat ke gymnasium semuanya!" lanjut Akmal.

Secara bergantian sesuai urut absen para siswa kelas XI IPA 1 melakukan penilaian bola basket. Sebelumnya, beberapa dari mereka yang akan maju berlatih terlebih dahulu.

Satu-persatu selesai. Zeta dan Zahira yang berada di urutan terakhir hanya menunggu giliran sambil duduk di kursi pinggir lapangan.

Saza dan Hanum berpamitan pada Zeta untuk pergi ke kantin. Sebagai gantinya Zeta sekalian titip dipesankan cilok dan susu kotak strawberry.

Selepas Saza dan Hanum beranjak, Zahira membuka suara. "Udah sejauh mana progress lo buat ngedeketin kakak kelas rohis itu?"

Zeta menoleh dan terkekeh. "Deket apaan! Cuma sebatas urusan organisasi aja."

"Nyerah nih?" Zahira mengangkat salah satu alisnya.

"Nggak tahu," jawab Zeta asal.

"Teman-teman lo pada tahu nggak tentang ini?" Zeta langsung paham siapa orang yang dimaksud Zahira.

"Kamu kenal aku udah dari lama, Ra. Tahu sendiri aku susah cerita soal kayak gini," jeda sebentar, "Mereka tahunya aku sama kak Fathan sering chatan bahas rohis aja. Nggak sampai tahu aku punya sesuatu yang lain ke dia." Zeta meringis.

Sekilas Zeta dan Zahira nampak seperti dua orang asing, namun ternyata mereka saling mengenal satu sama lain. Keduanya berasal dari SMP yang sama dan semua orang tidak sadar akan hal itu.

Mereka berpenampilan sangat berbeda. Zeta memutuskan berhijab setelah masuk SMA dan Zahira tidak mengenakan jilbab. Bahkan beberapa kali Zahira pernah berurusan dengan catatan merah karena melanggar tata tertib sekolah seperti menyemir rambut.

Zahira juga tahu salah satu alasan Zeta berhijab selain faktor utamanya karena permintaan orang tua, juga karena Zeta yang kagum pada Fathan. Ini alasan paling sederhana dan hanya Zahira yang tahu. Zeta tidak sedekat itu dengan Saza atau Hanum untuk menceritakannya.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jan 26 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

SunshineTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang