Dakota sangat berharap, saat keadaannya sedang luka-luka seperti sekarang, ia tidak bertemu Havana.
**
Sepanjang perjalanan pulang, Dakota tidak menanyakan apa pun pada Havana tentang perempuan yang mereka temui di kafe. Itu bukan urusannya untuk ikut campur. Meski begitu ia tidak dapat menyembunyikan rasa heran, kenapa Havana harus mengabaikan perempuan cantik itu dan tega menyakiti dengan mengatakan soal pernikahan mereka. Havana bahkan tidak bisa menyembunyikan kegundahannya sepanjang menyetir mobil.
Ia melirik laki-laki di belakang kemudi dan menghela napas panjang. Hubungan antara laki-laki dan perempuan adalah hal yang paling tidak ia mengerti. Seperti halnya dulu Kanita dan Darius. Kakak sepupunya jatuh cinta dan tergila-gila pada Darius yang secara umur sangat berbeda jauh. Banyak orang mengingatkan kalau hubungan mereka tidak ada berhasil, Nyatanya justru sampai ke pernikahan. Kanita sangat bahagia saat menjadi istri Darius. Cinta yang sesungguhnya, tidak memandang usia. Sering kali Dakota merasa iri pada kakak sepupunya. Ia berharap bisa menemukan laki-laki yang sama baiknya dengan Darius. Sayangnya, nasib berpihak lain. Ia memang akan menikah dengan anak Darius, tapi sifat dan sikap Havana sangat jauh berbeda dengan sang papa.
"Terima kasih," ucap Dakota saat Havana menurunkannya di teras rumah.
Havana mengangguk. "Aku nggak turun. Foto kita udah aku kirim ke Pak Otis, dan dia sangat puas."
Kali ini Dakota tersenyum. "Berarti kita nggak perlu kencan lagi?"
"Kenapa? Kamu tersiksa kencan denganku?"
Mendengar pertanyaan Havana, timbul rasa tidak enak hati dalam diri Dakota. "Eh, bukan begitu, Maksudku, anu, ah, pokoknya gitu."
"Hah, dasar."
Havana menstarter mobilnya dan meluncur pelan meninggalkan rumah besar di belakangnya. Pikirannya berkecamuk antara Jeni, Dakota, dan warisan. Ia harus menikah, demi menjaga agar perusahaannya tetap stabil. Ia tidak tahu, apakah mampu melupakan perempuan yang selama beberapa waktu ini mendiami hatinya. Bagaimana kalau pernikahan ternyata berdampak buruk bagi kehidupnya? Tapi, pernikahan ini bukan hanya tentang dirinya, tapi juga soal Dakota dan nasib bayi tak berdosa.
**
Pagi pagi Dakota dibangunkan oleh suara teriakan. Tanpa berganti pakaian, ia bergegas ke ruang tengah dan mendapati Santia berdiri berkacak pinggang sambil mengoceh dan menjerit.
"Kalian ini pelayan malas, tidak tahu diri. Sudah jam berapa ini? Masih pada tidur?"
"Nona, kami bangun dari pagi. Rumah sudah kami bersihkan." Seorang pelayan menjawab dengan berani.
"Oh, lalu kenapa malah merumpi di dapur? Kenapa nggak cuci kamar mandi, lap tangga, atau cuci genteng."
"Kamar mandi dan tangga juga sudah bersih, Nona."
"Jawab aja terus! Lama-lama aku usir kalian dari sini!"
Dakota menghela napas dan menghampiri Santia. Heran karena masih sepagi ini gadis itu sudah muncul di rumahnya untuk mengomel.
"Kenapa marah-marah, Santia?"
Santia mengalihkan pandangan dari para pelayan yang berjejer ke Dakota yang baru keluar. Mengangkat dagu dengan angkuh. "Oh, ternyata ini biang keroknya. Nona Besar yang baru bangun dari tidur. Enak banget hidup lo!"
"Gue nggak harus laporan, kapan bangun, kapan tidur," jawab Dakota.
"Berani ngejawab. Nyali lo besar, ya."
"Bukan soal nyali. Tapi, lo nggak tahu aturan. Ini rumah siapa? Datang pagi-pagi cuma buat marah-marah."
"Kenapa memangnya kalau anakku datang pagi-pagi, hah?" Intan muncul, berkacak pinggang dan tak kalah congkak dari anak perempuannya. "Rumah ini masih milik kakak iparku. Bukan milikmu Gadis Miskin, apalagi para pelayan itu!"
Dakota terdiam, melirik pada para pelayan yang ketakutan. Tidak menyalahkan mereka. Ia sendiri takut dengan kedatangan ibu dan anak itu. Takut akan membuat keributan yang akhirnya membuat Leonard terbangun. Ia memanggil salah satu pelayan dan berucap lembut. "Kamu ke kamar, jaga Leo."
Si pelayan mengangguk. "Iya, Nona."
"Hei, mau ke mana lo! Gue belum kasih ijin kalian buat pergi dari sini!" teriak Santia.
Dakota menatapnya tak percaya. "Di dalam, Leonard sedang tidur. Kalian bicara keras sekali, takut dia kebangun. Makanya aku suruh orang jagain."
"Siapa lo berani ngajarin gue?" Santia menyipit penuh kebencian pada Dakota.
"Bukan siapa-siapa, cuma mau jaga Leonard."
"Halah, bilang aja lo mau rumah ini'kan? Lo mau jadi nyonya di rumah ini, makanya sok baik sama bayi itu."
Dakota mendengkus. "Bukannya kebalik, ya? Kalian gugat hak asuh Leo karena mau rumah ini bukan?"
Perkataan berani dari Dakota membuat Intan naik darah. Perempuan itu mendekat dengan tiba-tiba dan sebuah pukulan dilancarkan dan mengenai pipi sebelah kanan Dakota. Semua tercengang, karena kaget. Dakota serta merta meraba pipinya yang sakit.
"Lancang kamu!" desis Intan. Masih dengan tangan terangkat. "Kamu hanya gadis gembel yang dibawa Kanita ke rumah ini. Lancang kamu mengomentari kami, hah!"
Dakota memejam, berusaha menahan tangis. Ia tidak boleh kalah di hadapan ibu dan anak yang sedang menindasnya. Ia punya harga diri, dan ada bayi yang harus dilindungi. Menghela napas panjang, ia berucap dengan suara gemetar.
"Untuk kalian tahu, surat wasiat mengatakan rumah ini adalah milikku. Sah dan legal secara hukum."
Santia bertukar pandang dengan mamanya. "Apa maksud lo?"
Mengabaikan pipinya yang berdenyut sakit, Dakota mengangkat kepala. Menghimpun sisa-sisa harga diri di dada. "Kalian datang nggak diundang, mengamuk seenaknya, bahkan memukulku. Para pelayan jadi saksinya."
Intan tersenyum kecil, berkacak pinggang. "Kenapa? Mau melaporkan kami ke polisi?"
Dakota mengangguk. "Iya, atas tuduhan penganiayaan. Bekas tamparan masih ada di pipiku."
"Oh, jadi lo nantangin? Mau digampar lagi?"
Santia merengsek maju, mengayunkan tangan. Dakota menangkapnya dan saat itulah terdengar suara tangisan melengking dari dalam kamar. Melepaskan tangan Santia, ia berniat masuk tapi naas, kakinya dijegal dan membuat tubuhnya terguling dan jatuh mengenai lantai yang keras dengan dahi menghantam keramik.
"Rasakan itu, Gadis Miskin. Kamu pikir isi wasiat bisa membuatmu berkuasa?" bisik Intan.
Dakota bangkit dari lantai, mengusap darah yang mengalir dari hidungnya. Ia menahan perih, berlari sekuat tenaga dan membuka pintu kamar. Dengan darah mengalir membasahi dagu, ia menghampiri ranjang bayi, di mana Leonard sedang menangis keras.
"Sayang, ini kakak datang. Sudah, jangan nangis."
Nyatanya, bukan hanya Leonard yang menangis. Air mata Dakota pun bercucuran. Ia meraih tisu di atas meja untuk membasuh darah yang membasahi dahu dan lehernya. Setelah itu, mengangkat Leonard dan menimang bayi mungil itu.
Bersenandung kecil untuk menenangkan tangisan Leonard, Dakota merasa tenggorokannya tercekat. Berbagai perasaan timbul tenggelam dalam dirinya. Ingin berlari sejauh mungkin dari sini, tapi sadar itu tidak mungkin. Tetap tinggal tapi rasanya sungguh menyesakkan dan ia tidak punya orang lain untuk diajak berbagi.
"Kak Kanita, apa kamu tenang di surga, Kak? Kami merindukanmu?"
Dakota menepuk pundak Leonard perlahan. Bukan hanya ingin menenangkan si bayi tapi juga dirinya sendiri. Ia dipaksa untuk tetap kuat karena keadaan. Teriakan di ruang tengah mereda, tandanya Santia dan Intan sudah pergi. Dakota menghela napas, merasa terpenjara di rumah besar ini.
**
Di Karyakarsa sudah bab 15
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta Luar Biasa
RomanceHubungan benci dan cinta antara Havana, sang pebisnis muda nan arogan, dengan Dakota, gadis mahasiswa yang lugu. Mereka dipertemukan oleh nasib, dijodohkan oleh musibah, dan menjalani kehidupan pernikahan karena terpaksa. Bagaimana keduanya akan ber...