Bab 6b

2.2K 536 32
                                    

"Kamu sudah ke butik?"

"Sudah, foto gaun pengantin aku kirim nanti sore di ponselmu. Biar kamu bisa sesuaikan."

Havana mengangguk, menatap Dakota yang sibuk menyuapi si bayi. Kedekatan keduanya bukan pura-pura. Si bayi begitu bergantung pada Dakota dan gadis itu pun terlihat sangat tulus dalam merawat. Akan susah untuk memisahkan keduanya.

"Kamu ingin mas kawin apa?"

Dakota mendongak, menatap heran. "Mas kawin? Bukannya ada cincin?"

Havana menggeleng. "Beda, harus menyiapka mahar. Sebutkan saja kamu mau apa?"

Dakota tidak terpikirkan apa pun soal mahar. Ia akan menikah saja sebuah ide yang masih tidak masuk akal menurutnya. Bagaimana mungkin memikirkan soal mahar?

"Nggak kepikiran," gumamnya. "Bagaimana kalau tanya Pak Otis?"

Havana berdecak tak percaya. "Hei, yang akan menikah itu kita. Bukan aku sama pengacara itu?"

"Oh, ya. Maaf. Kalau gitu kamu berikan apa saja, yang sederhana. Toh, hanya pernikahan sandiwara."

Menyandarkan kepala pada sofa, Havana memikirkan tentang mahar yang akan diberikan untuk calon pengantin yang terlihat enggan di depannya. Ia sendiri kebingungan karena tidak pernah menikah sebelumnya. Dulu memang pernah memikirkan untuk menikah dengan Jeni, bersama mantan kekasihnya mereka sudah menyiapkan mobil untuk mahar. Tapi, Dakota tidak bisa menyetir dan bukan jenis gadis yang suka bersosialisasi. Menyerahkan semua masalah padanya, sama saja membuat Havana bingung.

"Tolong jaga Leo sebentar, aku mau ambil minum." Dakota bangkit dari karpet, melewati Havana. Tanpa sengaja ia menginjak salah satu mainan Leonard dan terpeleset. Disertai suara jerita, ia jatuh berdedum di atas sesuatu yang empuk. Saat sadar, bertatapan dengan Havana. Rupanya, ia jatuh di atas tubuh Havana dan itu membuatnya ngeri.

"Dakota, apa kamu berniat membuatku mati tertindih?" tanya Havana.

Dakota menggigit bibir. "Ma-maaf, aku nggak sengaja."

"Dakota, apa yang kamu pegang?"

Dakota buru-buru bangkit dengan wajah merah padam. "Ma-maaf!"

Secepat kilat ia berlari ke dapur, dengan wajah memanas. Tangannya yang baru saja menyentuh sesuatu yang penting, kini terasa kaku. Dengan napas ngos-ngosan, ia memanggil pelayan. Meminta pada pelayan untuk memberikan air pada Leonard dan ia berlari ke kamar. Tidak keluar sampai Havana pergi.

Hari-hari menjelang pernikahan berlalu sangat cepat. Dibantu Ulfa, Dakota mempersiapkan apa yang dia bisa. Selebihnya ditangani oleh Otis dan Havana. Kesibukan di kampus dan merawat Leonard, kini ditambah soal pernikahan membuatnya lelah.

Setelah kejadian di ruang tengah, Dakota tidak pernah bertemu dengan Havana. Mereka berkominukasi melalui ponsel. Saat ia tanya siapa yang akan diundang nanti. Havana mengatakan, hanya keluarga dan sahabat dekat. Itu pun mereka tidak ada yang tahu kalau acara pernikahan. Di undangan tertulis syukuran. Dakota menganggap ide Havana sungguh luar biasa.

"Besok kita akan menikah, sebaiknya kamu jangan keluar rumah."

Pesan Havana di hari menjelang pernikahan mereka. Dakota menuruti tanpa bantahan. Karena tidak ingin ada masalah. Niat menikah bisa jadi sandiwara, tapi tidak dengan prosesinya. Semua harus tetap berjalan dengan benar.

Havana sendiri, sangat sibuk dengan urusan perusahaan. Ditambah menerima gugatan yang tak berhenti dari keluarganya sendiri. Beruntung ia punya Otis yang banyak memberinya nasehat. Di malam menjelang pernikahan, ia yang masih lembur di kantor menerima panggilan di ponsel. Mengernyit saat melihat nama yang tertera di layar. Dalam beberapa minggu ini ia mengabaikan semua panggilan dan pesan dari Jeni, kali ini pun berniat tetap mengabaikan sampai akhirnya panggilan berubah menjadi video. Mau tidak mau ia menerima. Ia membuka layar dan mengernyit saat mendapati Jeni terkapar pucat di atas ranjang.

Cinta Luar BiasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang