Havana menghabiskan makanannya dan menatap Dakota dengan bingung. "Kamu mau aku bantu? Biar kamu habiskan makanan?"Dakota menggeleng. "Nggak usah. Aku sendiri."
Bayi itu terus merengek, tidak ingin digendong dan selalu ingin turun. Sesekali menjerit, dan Dakota dengan sabar menjaganya. Makanan gadis itu terbengkalai. Havana menghela napas panjang, merasa kalau bayi ternyata sangat merepotkan. Ia menoleh saat seorang wanita separuh baya menyapa ramah.
"Pak, kasihan itu ibunya belum makan. Barangkali, bayinya mau ikut papanya."
Havana melongo dan belum sempat menyangkal wanita itu sudah berlalu. Ia berdecak kesal, kini menyadari arti tatapan dari orang-orang yang tertuju padanya. Pasti mereka semua mengira dirinya seorang suami dan papa yang tidak berguna. Saat istri sedang kerepotan, ia malah makan dengan enak.
"Heh, sini. Bayinya aku gendong!"
"Emangnya bisa?"
"Dicoba dulu, mana tahu?"
Awalnya, Dakota merasa enggan menyerahkan Leonard ke tangan Havana. Namun, ia teringat kalau laki-laki itu adalah kakak kandung dari si bayi. Selama ini, Havana tidak pernah menyentuh adiknya, barangkali ini kesempatan bagus untuk mendekatkan mereka.
"Baiklah, kalau nggak bisa atau kerepotan, serahkan padaku."
Havana mengangguk, bangkit dari kursi dan mengulurkan lengan. "Iya, iya, tenang saja. Sini bayinya."
Dengan kikuk Ia menerima si bayi dalam pelukan. Merasa sedikit aneh saat bocah itu merengek. Ia menimang dengan ragu-ragu, memperbaiki posisi si bayi agar berdiri di bahunya dan menepuk punggungnya lembut. Dakota berdiri di depannya, tidak beranjak sampai si bayi merasa nyaman.
"Makanlah, aku akan membawanya jalan-jalan."
"Kemana?"
"Sekitar sini. Habiskan makananmu."
Dengan bayi di bahunya, Havana meninggalkan ruang dalam restoran menuju teras. Semilir angin membelai mereka. Awalnya, Leonard terdiam sampai akhirnya sedikit memberontak dan merengek.
Dakota buru-buru memakan buburnya. Ia tidak tenang meninggalkan si bayi dengan Havana. Takut kalau terjadi apa-apa. Sampai akhirnya, 15 menit kemudian Havana kembali masuk dan ia bangkit untuk menyambut mereka.
"Ternyata, menggendong bayi sangat melelahkan. Bukan karena bobotnya, tapi karena harus menenangkan mereka. Huft, lebih baik aku bergulat dengan dua laki-laki dari pada harus menggendong bayi."
Dakota tidak dapat menahan tawa, mendengar gumaman Havana. Ia tidak menolak saat laki-laki itu mengajaknya mengambil foto selfie, tentu saja dengan bayi dalam gendongan mereka. Ia merasa kalau kencan malam ini berjalan dengan baik. Meskipun hanya makan semangkok bubur. Ia berencana makan mie instan begitu tiba di rumah.
Malam itu bukan kencan terakhir mereka. Saat Havana memperlihatkan foto selfie mereka bersama Leonard pada Otis, pengacara itu bersorak gembira.
"Wah, ini bagus sekali. Kalian hebat," pujinya.
"Kenapa?" tanya Havana.
"Secara tidak langsung menunjukkan kalau kamu akrab dengan adikmu dan juga calon istrimu."
Penyebutan kata yang aneh tentang calon istri. Bulu kuduk Havana berdiri seketika. "Pak, jangan terlalu senang. Kami hanya bersandiwara."
Otis tertawa lirih. "Ah, mau sandiwara atau bukan, ini sesuatu yang menyenangkan. Ayo, lanjutkan. Paling tidak satu kali kencan lagi dan usahakan kamu sering-sering ke rumah itu sepulang kerja, biar terpantau CCTV."
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta Luar Biasa
RomantizmHubungan benci dan cinta antara Havana, sang pebisnis muda nan arogan, dengan Dakota, gadis mahasiswa yang lugu. Mereka dipertemukan oleh nasib, dijodohkan oleh musibah, dan menjalani kehidupan pernikahan karena terpaksa. Bagaimana keduanya akan ber...