Havana melangkah cepat melintasi lobi gedung yang ramai. Di belakangnya ada Otis dan satu laki-laki lain yang merupakan asisten baru Havana. Mereka ke perusahaan induk untuk pertama kalinya setelah kematian Darius. Havana sudah beberapa kali datang, dulu sekali, sebelum perceraian orang tuanya. Ia tidak melihat banyak perbedaan selain gedung yang makin ramai.
"Kamu akan bertemu para om di atas. Mereka menunggumu," ucap Otis.
Havana mengernyit. "Untuk apa?"
"Entahlah, mungkin merasa ada kewajiban untuk menyambutmu."
Havana mendengkus. "Jangan terlalu berlebihan, Pak Pengacara. Kita berharap saja bisa keluar dari gedung ini hidup-hidup karena aku yakin, kedua om sangat ingin membunuhku."
Otis berdecak. "Kali ini, kamu yang berlebihan Havana. Ngomong-ngomong, kencan kalian bertiga sepertinya seru. Foto yang kamu kirim, kelihatan kayak keluarga kecil yang bahagia."
Pikiran Havana serta merta tertuju pada Dakota. Ia tidak tahu, bagian mana yang disebut keluarga bahagia. Karena setiap kali bersamanya, Dakota terlihat begitu tertekan dan sama sekali tidak menikmati. Gadis itu lebih kuatir dengan keadaan si bayi, dari pada fokus kencan. Mereka juga jarang bercakap-cakap, hanya sesekali saling bersapa kaku. Havana merasa, mata Otis rabun karena melihat foto dirinya dan Dakota terlihat bahagia.
"Pernikahan bisa direncanakan mulai sekarang. Apakah kalian sudah memutuskan gaun pengantin dan akan pesta di mana?"
Havana menggeleng. "Belum sama sekali."
"Hah, kenapa? Sudah mepet waktunya."
"Nanti, setelah urusan perusahaan ini selesai."
Itu bukan janji melainkan komitmen yang dibuatnya sendiri. Ia akan menikahi Dakota, apa pun yang terjadi, tapi banyak urusan mendesak yang perlu segera diselesaikan. Selesai dari sini, ia akan menemui Dakota dan membahas tetek bengek pernikahan.
Keluar dari lift, mereka disambut beberapa manajer bagian. Otis memperkenalkan Havana dan membawanya menuju kantor direktur. Di sana, sudah ada Hoshi dan Noman. Hoshi duduk di kursi direktur, sedangkan Noman berdiri tak jauh darinya.
"Keponakanku tersayang, sudah tiba rupanya."
Havana menatap mereka berdua tidak berkedip. Otis maju dan tersenyum. "Pak Hoshi, Pak Noman, saya mengantarkan Havana datang. Mulai besok, dia akan menjadi pimpinan di sini."
Hoshi memutar tubuhnya di atas kursi, mengaitkan jari jemarinya. "Oh, langsung jadi pimpinan? Memangnya dia bisa apa, Otis? Aku tidak meremehkan kemampuanmu dalam bekerja, Havana. Tapi terus terang, kamu masih terlalu muda untuk jabatan ini."
Havana bertepuk tangan sambil tersenyum pada kedua laki-laki di dekat meja besar. "Wah, Om Hoshi, ternyata Om lebih pandai menilaiku dari pada papaku sendiri, ya? Kalau memang aku dianggap tidak mampu, kenapa papa memberikan warisan padaku?"
Hoshi mendengkus. "Itu karena Darius lupa, siapa anak yang membuat sakit hati. Darius melupakan sejarah, kalau anak laki-laki yang dibanggakannya, ternyata membencinya."
"Wow, tidak hanya pandai menilai kemampuanku dalam bekerja, Om juga bisa menilai hubunganku dengan almarhum papa? Memangnya kita kenal dekat, Om? Nggak bukan? Ketemu aja jarang, apalagi bergaul akrab. Jadi, berhenti berucap seolah-olah paling mengerti aku!" tutur Havana tanpa senyum di wajah.
Noman menegakkan tubuh, menuding Havana. "Anak kemarin sore sudah sok berkuasa. Kamu berani menentang kami?"
Havana mengangkat bahu. "Menentang kalian? Apa untungnya buatku? Nggak ada!"
Hoshi menggebrak meja dengan keras dan membuat beberapa barang jatuh ke lantai. Dengan wajah memerah, bangkit dari kursi. "Anak kurang ajar." Mendesis keras, seperti ular yang sedang mengincar mangsa. Mata berkilat penuh kebencian dan bisa dilihat oleh semua orang yang ada di ruangan, tidak terkecuali Otis. Pengacara itu maju, berada di tengah Havana dan kedua om-nya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta Luar Biasa
RomanceHubungan benci dan cinta antara Havana, sang pebisnis muda nan arogan, dengan Dakota, gadis mahasiswa yang lugu. Mereka dipertemukan oleh nasib, dijodohkan oleh musibah, dan menjalani kehidupan pernikahan karena terpaksa. Bagaimana keduanya akan ber...