Bab 11b

2K 505 41
                                    

Havana memutuskan untuk mengangkat Ferni sebagai sekretarisnya. Sedangkan Lusia, ia memberinya jabatan sebagai manajer keuangan. Mereka adalah perempuan yang berdedikasi dalam pekerjaan dan diharapkan bisa membantunya. Otis pun cukup puas dengan pilihan Havana.

Campur tangan Otis dalam keputusan yang diambil Havana, membuat Hoshi marah. Sebagai adik kandung Darius, harusnya Havana lebih mendengarkan dirinya. Ia merasa jauh lebih berpengalaman dari pada Otis yang hanya seorang pengacara.

"Kenapa soal pendanaan, kamu nggak tanya pendapatku malah manggil pengacara itu kemari? Tahu apa dia soal investasi, hah!"

Kemarahan Haoshi diterima dengan tenang oleh Havana. "Sabar, Om. Jangan marah-marah, nanti darah tinggi!"

"Aku sudah darah tinggi semenjak kamu semena-mena memimpin perusahaan ini. Kamu harus tahu, bagaimana papamu membangun perusahaan ini. Dengan air mata dan juga darah!"

"Iya, termasuk mengorbankan keluarganya," sela Havana lugas. Tidak menatap Hoshi, sibuk dengan pekerjaannya sendiri. "Mungkin Om lupa, tapi papa mengambaikan aku dan mama demi perusahaan ini."

Hoshi mendengkus kasar. "Tetap saja, kamu yang menikmati hasilnya bukan?"

Havana menggeleng. "Nggak, aku tetap bekerja keras seperti biasa. Hasil mana yang aku nikmati? Apa Om nggak tahu kalau perusahaan sedang kurang baik? Banyak hal yang harus dirombak dan disesuaikan."

"Ingat! Jangan sembarangan mengubah sesuatu di perusahaan ini."

"Ups, sayangnya Om nggak ada hak untuk melarangku." Mengangkat wajah, Havan tersenyum kecil. "Semua keputusan ada di tanganku sekarang."

Hoshi meradang, menatap Havana yang tersenyum kurang ajar padanya. Ia tidak tahu, apa yang membuat keponakannya itu menyimpan beribu kebencian padanya. Selama ini yang ia tahu hanya bekerja untuk Darius. Tidak melakukan tindakan yang membuat orang lain celaka. Mereka saling pandang dengan penuh kebencian sebelum akhirnya Hoshi keluar dan membanting pintu. Ia datang jauh-jauh untuk bicara dengan Havana dan hanya mendapatkan kemarahan sebagai hasilnya.

"Anak terkutuk! Kurang ajar!" Ia memaki keras, sebelum masuk ke lift dan meninggalkan kantor.

Rapat yang berkepanjangan selama satu hari penuh membuat Havana kelelahan. Ia berniat untuk pulang cepat, mandi dan tidur lalu teringat akan janjinya pada Jeni. Mau tidak mau, ia mengarahkan kendaraan ke club, bukan rumah seperti yang diharapkannya.

Memarkir kendaraan di halaman yang penuh, Havana sedikit gontai memasuki club. Musik jazz menyapu pendengarannya dan ia mengerjap, menyesuaikan dengan pencahayaan ruangan yang sedikit redup. Mengedarkan pandangan mencari sosok Jeni, ia mendengar namanya diteriakkan.

Jeni, duduk di bangku tinggi dan melambai padanya. Menyingkirkan rasa enggan, ia menghampiri perempuan itu.

"Mau minum apa?" tanya Jeni.

"Soda."

"Hah, nggak salah. Ke tempat ini mau minum soda?"

Havana mengangguk. "Cukup soda."

Jeni merasa heran tapi tetap memesan minuman bersoda untuk Havana. Ia menatap laki-laki tampan yang pernah singgah di hatinya dengan kerinduan yang dalam. Ingin rasanya menyelusup masuk dalam pelukan Havana dan berdiam diri di sana. Namun, saat melihat kelelahan di wajah laki-laki itu, ia mengurungkan niatnya.

"Jeni, kamu mengajakku bertemu ada apa? Sebaiknya hal penting. Karena sekarang aku lelah sekali dan ingin pulang."

"Baru jam delapan. Biasanya sampai jam dua belas juga kamu masih kuat melek."

"Keadaan sekarang sudah beda dengan dulu. Ada banyak hal yang aku kerjakan."

"Termasuk menjadi direktur PT. Teja?"

Havana tidak menjawab, menerima soda dari pelayan club dan meneguknya. Tidak mengherankan kalau Jeni tahu soal kedudukannya yang baru. Perempuan cerdas seperti dia, pasti mengerti banyak hal. Informasi terbaru soal apa pun akan mudah didapatkan.

"Benar bukan? Kamu mewarisi perusahaan papamu?" Jeni mendekat, berbisik mesra. Dengan sengaja menggesekkan dadanya ke lengan Havana.

Havana berdecak. "Jeni, jaga sikap," tegurnya terus terang.

"Kenapa? Apa yang harus aku jaga? Dulu kamu suka kalau aku menggodamu."

Havana berdiri dari kursi, menatap lekat-lekat pada perempuan di depannya. "Sebaiknya kamu bicara sekarang. Ada urusan apa memanggilku datang. Jangan membuang-buang waktuku!"

Jeni kaget mendengar bentakan Havana. Menggigit bibir, tangannya mengepal. "Aku hanya kangen."

"Membosankan."

"Havana, kamu nggak bisa terus menerus mengabaikan aku. Kita pernah punya hubungan yang indah dan menggairahkan. Aku ingin mengulang seperti dulu."

"Terlambat!"

"Apa, maksudmu?" Jeni bertanya dengan bibir gemetar, berusaha menahan tangis. "Terlambat untuk apa? Meminta maaf? Aku sudah melakukannya berkali-kali. Aku juga sudah menjauhi Devon."

Havana melengos. "Benarkah? Kenapa berita soal kalian kencan muncul setiap saat di akun gosip? Jangan berbohong, Jeni."

Jeni menggeleng. "Nggak, aku nggak pernah bohong. Semua yang aku katakan itu benar adanya. Aku ... Havana, kamu ke mana? Tunggu!" Jeni tidak menyelesaikan perkataannya karena Havana membalikkan tubuh dan melangkah ke pintu. Ia merogoh dompet, mengambil uang dan meletakkan di atas meja untuk menbayar tagihan. Bergegas keluar menyusul Havana, sayangnya laki-laki itu sudah pergi dan tidak menunggunya. Ia menghentakkan kaki ke tanah dan menahan makian yang ingin keluar dari mulut. Satu pesan muncul di ponselnya membuat wajahnya merah padam.

"Jangan coba-coba datang ke kantor pusat atau security akan mengusirmu. Namamu akan menjadi salah satu tamu yang tidak diinginkan di sana."

Ancaman Havana memicu kemarahnnya. Ia mengepalkan tangan dan berteriak, tidak peduli pada pandangan yang dilontarkan para pengunjung.

Menyesali keputusannya untuk menemui Jeni dan akhirnya membuat kesal, Havana mengarahkan kendaraannya menuju rumah sang papa. Sebenarnya, ia berkeinginan untuk kembali ke apartemennya, tapi entah kenapa rasa malas menguasainya.

Saat mobilnya memasuki halaman rumah, ia dibuat kaget karena pintu dalam keadaan terbuka. Dakota muncul dari dalam dan berdiri di teras seakan sedang menunggunya pulang. Di pinggangnya ada bayi mungil dalam balutan piyama merah.

"Kok di luar? Kenapa belum tidur?" tanyanya.

Dakota tersenyum. "Leonard lagi aleman. Nggak mau bobo, maunya digendong. Udah makan belum?"

Havana meraba perutnya. "Belum."

"Mau dimasakin sesuatu?"

"Gampang, ada pelayan." Havana menatap si bayi yang merengek. Dakota mengayun dan menggelitiknya. Seorang gadis yang masih terlalu muda untuk menjadi ibu, tapi Dakota melakukannya dengan sangat baik.

"Ayo, masuk. Banyak nyamuk. Ada sop iga, kalau kamu mau makan biar dihangatkan pelayan."

Havan memijat lehernya yang kaku. Meletakkan tas di atas sofa. "Pingin makan tapi juga ngantuk."

"Makan dulu, baru istirahat. Kamu mau berendam biar badanmu enak? Nanti bisa pakai minyak essential."

"Nggak usah. Diguyur air hangat juga enak."

. Gambaran tentang satu keluarga utuh, tercipta di benaknya. Tawa si bayi yang memikat, sikap Dakota yang begitu perhatian padanya, seperti menyebarkan kehangatan yang tidak ada hubungannya dengan makanan. Ia merasakan senang, kenyang, dan nyaman.

**

Obrolan hati.

Otis: Mereka semua cemburu padaku.

Havana: Memang.

Otis: Apa karena aku begitu tampan?

Havana: Soal itu, tolong ngaca!

Otis: Ah, makin lama aku ngaca. Makin tampan memang.

Havana: Jauh dibandingkan aku.

Dakota menatap keduanya dengan gemas: Kalian mau adu kencantikan sampai kapan? 

Cinta Luar BiasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang