Bab 13a

2.1K 503 47
                                    

Ciuman mereka berubah panas saat Dakota tanpa sadar mendesah dan membuat Havana tergerak. Saling mendekat dan memeluk satu sama lain di dalam air, keduanya larut dalam gairah.

***

"Apa kamu sudah tahu, kalau si anak keparat itu pergi ke pabrik?"

Hoshi mengangguk. "Tahu. Manajer memberiku laporan."

"Bukankah itu benar-benar kurang ajar? Apa maksudnya datang ke pabrik tanpa memberitahu kita. Bagaimanapun, perusahaan itu diwariskan untuk kita dan sudah semestinya, kalau mau melakukan sesuatu harusnya ijin."

Hoshi mendengarkan dalam diam, semua keluh kesah adiknya. Ia pun merasa marah dan kesal dengan Havana yang bertindak kurang ajar, tapi sekarang sudah terlambat untuk mencegah. Merek. Havana sudah pergi bersama Otis, mengacak-acak pabrik, membuat karyawan resah dengan seenaknya menerapkan aturan baru. Sekarang ia ketakutan kalau sepak terjang keponakannya dari hari ke hari makin tidak terkendali. Maka semua yang diperjuangkan selama ini akan gagal.

Noman menatap kakaknya. "Kenapa kamu diama saja?"

Hoshi menghela napas panjang, menahan keinginan untuk merokok. Dari pintu muncul Niko. Anaknya mengenyakkan diri di depannya, menatap serius.

"Mereka nggak cuma ke pabrik kulit dan plastik tapi juga berencana ke tempat lain."

"Kemana?"

"Mengembangkan start up fnb milik Havana, menggunakan uang perusahaan tentu saja."

"Damn! Sial!" Noman memaki keras. "Bajingan kecil itu yang berfoya-foya sedangkan kita yang bekerja selama ini!"

Hoshi memijat pelipis, mencoba untuk tetap berpikir jernih meski ada banyak makian di kepalanya. Semua tindakan Havana ini, harus dilawan dengan halus, bukan konfrontasi secara langsung. Pemuda itu bukan tipe yang mudah untuk ditakut-takuti. Havana akan memukul balik kalau merasa disakiti.

"Niko, mulai Minggu depan kamu pindah ke kantor pusat."

Niko mengedip, menatap papanya. "Pa, untuk apa?"

"Tentu saja memata-matai Havana."

Niko menaikkan sebelah kaki, berdecak sambil menyugar rambut. Ide papanya sedikit membuatnya keberatan. Dulu ia pernah ingin kerja di kantor pusat, tapi Darius tidak mengabulkannya. Sekarang pun tidak ada bedanya. Havana pasti juga tidak mengabulkan. Sejujurnya ia lebih suka bekerja di kantor pusat. Banyak hal yang bisa dipelajari, meskipun tidak terlalu suka bekerja tapi berada di perusahaan besar tentu saja gengsi tersendiri untuknya. Masalah terberat adalah, ia tidak akan pernah mengemis pada Havana masalah ini.

"Pa, sepertinya itu sulit terkabul."

"Kenapa?" Noman yang bertanya. Duduk di depan keponakananya. "Kalau Santia, sudah bisa bekerja, aku juga akan menyuruhnya. Coba, katakan. Di mana sulitnya?"

Niko mengangkat bahu. "Aku dan Havana, kami saling membenci. Tidak mungkin disatukan. Sampai sekarang Havana bahkan masih ingat saat kita dulu mengejeknya karena meninggalkan sang papa. Aku rasa, dia akan membalas apan pun perlakuan kita padanya dulu."

"Kamu takut?"

Niko menggeleng. "Sama sekali tidak, hanya enggan mencari masalah."

"Kamu ditakdirkan jadi anak laki-laki, jangan lembek! Kamu bukan Santia, wajar kalau dia lembek karena perempuan!"

Teguran keras Noman membuat Niko merasa tidak puas. Ia tidak suka hidupnya diatur-atur orang lain meskipun dengan dalih untuk kebaikannya. Ia melirik sang papa yang sedari tadi terdiam, ingin meminta tanggapan tapi tidak mendapatkanya. Akhirnya, ia ikut terdiam dan mendengarkan Noman bicara panjang lebar serta memaki.

Cinta Luar BiasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang