Deru hujan terdengar dari luar rumah. Angin menampar nampar air, menghantam dinding batu dan jendela kaca, menimbulkan bunyi derak yang mengerikan. Pohon bergoyang, dengan beberapa ranting patah, tidak kuasa menahan derasnya hujan. Suasana di luar rumah yang penuh keributan, sangat kontras dengan bagian dalam di mana orang-orang berpakaian hitam duduk sambil menekuk kepala.
Sekilas, pemandangan itu terlihat seolah kesedihan sedang mencengkeram orang-orang itu. Wajah mereka yang sendu, desah napas tertahan, isak tangis perlahan, semua menggambarkan rasa kehilangan yang dalam. Tapi, tidak begitu bagi Havana.
Ia bisa melihat kalau orang-orang itu sedang bersandiwara. Sama sekali tidak ada kesedihan yang benar-benar murni ditujukan bagi pasangan yang baru saja dikubur. Orang-orang itu berpura-pura menangis sementara tangan mereka menengadah di bawah meja, mengharapkan sesuatu yang akan jatuh mereka. Bisikan pelan mereka embuskan ke telinga para pengacar dan berharap, nama mereka tertulis di dalam dokumen tebal yang ada di atas meja kaca.
"Orang-orang munafik sialan!" desah Havana putus asa. Merasa kesal karena terjebak dalam situasi yang membuatnya harus duduk bersama orang-orang yang tidak menyukainya.
Terdengar rengekan dari mulut seorang bayi. Havana menatap dari ujung matanya, seorang gadis berkacamata dengan rambut dikuncir, sedang menenangkan seorang bayi. Suara gadis itu penuh kesabaran dan penghiburan. Menepuk lembut punggung si bayi dan sepertinya sedang membisikkan kata-kata penghiburan. Gadis itu tanpa sengaja meliriknya. Mata mereka bertemu dan gadis itu dengan cepat memalingkan wajah, masuk ke dalam kamar tanpa kata-kata.
Pengacara berjas hitam berdehem, serta merta isak tangis terhenti. Semua orang mengangkat wajah dan menatapnya.
"Mari, kita mulai membacakan wasiat dari almarhum dan almarhumah."
Havana memperhatikan bagaimana semua orang tiba-tiba duduk tegak dengan wajah penuh harap. Mereka tidak lagi menyembunyikan rasa penasaran di balik sendu yang palsu. Bibir mencebik, isak tangis dan tenggorokan tercekat, tersingkirkan segera dan berganti raut wajah berseri-seri. Hilang sudah kesan sendu dan sedih yang baru saja menyelimuti ruang tengah tempat mereka berkumpul.
Sang pengacara memanggil pelayan. "Bisa minta tolong panggilkan Dakota?"
Saat pelayan melangkah masuk terdengar decakan keras.
"Kenapa harus ada gadis itu? Dia bukan bagian dari keluarga kita?" Yang bicara adalah gadis berusia 22 tahun, seusia dengan Dakota. Raut wajahnya menyiratkan kekesalan. Bernama Santia dengan rambut hitam panjang sebatas bahu. Wajah Santia menyiratkan keangkuhan yang nyata.
"Yang dikatakan sepupuku ada benarnya, kenapa harus memanggil Dakota?" Kali ini, laki-laki muda seusia Havana, menyela keras. Laki-laki menatap Santia dan keduanya bertukar pandang dalam pemahaman yang sama. Havana memanggilnya Niko, meskipun tidak akrab satu sama lain, tapi mereka adalah sepupu. Dan itu fakta yang menjengkelkan.
Pengacara terlihat tenang dan tidak terpengaruh dengan protes mereka. Tersenyum, mengambil tumpukan dokumen.
"Kita akan menunggu Dakota datang."
"Gadis aneh itu. Mulai kapan jadi begitu pentinh?"
"Bukankah dia hanya seorang pengasuh?"
"Kenapa baby sitter ikut serta dalam pembacaan wasiat?"
Gumaman dan decak ketidak puasan memenuhi ruangan. Havana memperhatikan orang-orang itu sangat terganggu dengan kehadiran gadis bernama Dakota. Ia sendiri cenderung tidak peduli. Bisa bebas dari ruangan ini lebih cepat, akan lebih baik untuknya.
"Pak Pengacara." Dakota menyapa kikuk, di bawah tatapan orang-orang di ruangan. "Ada yang bisa saya bantu?"
Pengacara mengangguk. "Ayo, ambil kursi dan duduk nyaman, Dakota. Kita akan segera membacakan wasiat."
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta Luar Biasa
RomanceHubungan benci dan cinta antara Havana, sang pebisnis muda nan arogan, dengan Dakota, gadis mahasiswa yang lugu. Mereka dipertemukan oleh nasib, dijodohkan oleh musibah, dan menjalani kehidupan pernikahan karena terpaksa. Bagaimana keduanya akan ber...