BAB VIII

124 15 5
                                    

Jinan menyambut keduanya di pintu mobil. Membukakan pintu depan untuk Neandra, setelah Neandra masuk, Jinan menahan tangan Lily yang hampir membuka pintu belakang mobil.

"Gimana tadi Nana di sekolah?" tanya Jinan.

Lily mengangkat bahu. "Aku tadi dipanggil kepsek buat ngelatih anak-anak silat putri, jadi nggak sempat ngecek Neandra. Tapi, teman sekelasnya yang namanya Galen ngebantuin dia, kok," jawab gadis itu.

Jinan masih tampak khawatir. Lily menghela napas. "Kakak jangan khawatir berlebihan. Walaupun udah kecelakaan dan kehilangan penglihatan, Neandra masih tetap jadi Nananya Kakak! Nananya kita! Kakak cuma bakal nyinggung hati Nana kalau bersikap over-protektif kayak gini," jelas Lily.

"Tapi ...." Jinan masih ingin menyela.

"Ck! Percaya, deh, sama Lily!" tegas Lily sekali lagi, lalu masuk ke dalam mobil. Jinan menghela napas, lalu ikut masuk ke dalam mobil. Berusaha mencerna kata-kata Lily.

Over ... Protektif, ya ...

Walau hanya Lily yang bercerita, suasana di mobil Jinan hari itu tetap terasa ramai. Jinan hanya menanggapi apa adanya, sedang Neandra hanya diam– memilih menjadi pendengar.

Tiba-tiba, lelaki itu teringat sesuatu. "Hm, Lily?" panggilnya.

Lily menghentikan ceritanya. "Ya?"

"Lo sekelas sama Jenandra, 'kan?" tanya Neandra.

Lily mengangguk. "Hooh. Emang kenapa?" ujar Lily balas bertanya.

"Kok dia nggak pernah nemuin gue? Selama di rumah sakit sampai sekarang. Gue kira karena dia emang sahabat laknat dari sononya, tapi tiba-tiba gue ingat kalau dia ketua OSIS sekaligus punya pacar. Dia sesibuk itu emang?" tanya Neandra lagi.

Kening Lily berkerut bingung. "Nggak terlalu, kok. B aja. Malah, pas istirahat, dia buru-buru banget pengen nemuin Lo. Emang dia nggak dateng?"

Neandra menggeleng. "Nggak, tuh."

"Positive thinking aja. Mungkin, pas di jalan, dia kejedot tembok. Jadi gegar otak." Lily hanya menanggapi ringan.

"Eh! Sembarangan!" Neandra melotot— masih menghadap ke depan.

Lily tertawa terbahak-bahak. Namun akhirnya tersadar sesuatu. "Eh, ini bukan jalan pulang. Kita mau ke mana, Kak?" tanyanya.

"Ke rumah sakit. Nganterin Nana kontrol. Sekalian tanyain tentang antrian donor kornea Nana," jelas Jinan. Lily manggut-manggut. Neandra memegang lengan Jinan yang memegang setir dengan antusias.

"Donor kornea? Gue bisa ngeliat lagi, dong, kalau begitu! Bener, 'kan?!" harap Neandra.

Jinan tertawa renyah. Lantas menoyor jidat Neandra. "Ya iyalah, Bakso!"

Neandra tersenyum penuh harap, membuat Jinan tak tahan untuk mengacak-acak rambut adiknya. "Gue bakal cari donor buat Lo, walau sampai ke ujung dunia. Percaya, deh, sama kakak," kata Jinan.

Neandra mendecih, "Dih, sok banget. Jamet," makinya.

Lily tertawa melihat wajah dongkol Jinan. "Anjir! Jamet, wkwkwk! Dapat kata-kata dari mana Lo, Na?" gelaknya.

Neandra ikut tertawa. Jinan lalu mencubiti lengan Neandra gemas, tidak sadar kalau mobilnya sudah melenceng dari arus.

"Kak! Awas!" jerit Lily.

Bunyi klakson keras di depannya membuat Jinan sadar, lalu membanting setir dengan cepat. Mobil Jinan hampir saja ditabrak dari belakang. Namun, gadis itu gesit menghindar. Sumpah serapah terdengar dari para pengendara di belakang.

Melihat wajah Neandra yang pias, Jinan memilih meminggirkan mobil.

"Na! Lo nggak apa-apa, 'kan?!" ujarnya khawatir.

Neandra tersengal. Tangannya bergetar. Bunyi kacau kendaraan beserta suara klakson yang bersahutan membuat Neandra menutup telinganya dengan tangan.

"Hh ... Hhhh ...."

Lily tersadar. "Traumanya, Kak!"

Jinan berdecak lalu keluar dari mobil, membuka pintu untuk Neandra. Lily mengikut dari belakang. Tepat saat kedua kakinya keluar dari mobil, Neandra terjatuh di trotoar, memegang dadanya yang sesak. Tongkatnya menggelinding di jalan. Orang-orang berkerumun, ingin tahu apa yang terjadi.

"Kak! Kacau di sini! Terlalu dekat ke jalan raya!" Lily berteriak frustasi.

Jinan mengangguk. Berusaha mengangkat Neandra namun gagal walau dengan bantuan Lily.

Sementara itu, gejala trauma Neandra semakin menjadi. Kejadian kecelakaan itu kembali terputar di benaknya. "Hhh ... ugh ... hhh ...."

Lily berdecak. Melepaskan cardigan yang dipakainya untuk menutup kepala Neandra, lalu memeluknya menenangkan. "Sssttt ... gue ada di sini, hm? Kecelakaan itu udah berlalu. Waktu itu Lo sendirian. Sekarang, ada gue, ada Kak Jinan. Ok?" ujar Lily, menepuk-nepuk punggung lelaki itu.

Sementara itu, Jinan menghalau para warga yang sibuk memotret. "Heh! Ini bukan tontonan, ya! Mau saya laporin kalian ke polisi?!" hardiknya.

Para warga itu tidak mendengarkan. Masih mengarahkan ponsel mereka pada Neandra yang menderita.

Emosi Jinan memuncak. Lantas mengambil ancang-ancang lalu menendang ponsel salah satu warga di depannya. Orang itu meringis, lalu berseru, "Ponsel saya! Itu ponsel baru, loh! Emang kamu bisa ganti?!" protesnya.

Jinan mendecih kasar. "Iya kali orang kaya kayak gue nggak bisa ganti ponsel murahan kayak gini," ujarnya lalu merogoh tas, mengambil segepok uang lalu melemparnya ke wajah orang tadi.

Warga lain yang masih sibuk memotret, berhenti. Terkagum pada uang di depannya. Sampai Jinan menginjak kasar ponsel yang sebelumnya terjatuh itu. "Mau ponsel kalian begini juga?!" teriaknya lantang.

Walau dengan mengumpat, para warga berangsur-angsur meninggalkan tempat itu.

Saat keadaan sudah kondusif, Jinan menoleh cepat ke arah Neandra dan Lily. "Kalian nggak apa-apa, 'kan?!"

Lily mengangguk, "Nana udah agak tenang. Na! Lo nggak apa-apa, 'kan?!" ujar Lily sembari menarik cardigan dari kepala Neandra.

Wajah Neandra sudah tidak pias. Namun ia terisak. Jinan berjongkok.

"Kenapa, Dek?"

Neandra menggeleng. "Gue ternyata emang selemah ini, ya ...," ujarnya. "Gue emang terlalu pede. Nyatanya, suara klakson aja bikin gue takut. Gue ... pengecut."

***

TBC.

I feel you, Na :')

Ekhm, gaes~ Could you give some appreciation for this chapter? Like give vote or comment?

I really need you support now.

Thank you.

Salam hangat,
Xyraa~ang@_@

Liliandra (NCT DREAM)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang