Author's POV
Melda menumpukan wajah ke tangannya yang ia luruskan diatas bangku sambil melihat kearah seorang perempuan yang menjadi chairmate-nya dari kelas 10.
"Jadi? Kapan?" tanya Ai juga mengambil gaya duduk malas yang sama dengan Melda.
Pertanyaan yang dilontarkan dari ketiga temannya tadi tidak sempat ia jawab karena bel istirahat berbunyi tanda waktu istirahat sudah berakhir.
"Jadi...." kata Mela menggantung.
Ai memasang wajah penasarannya.
"Dia satu-satunya cowok yang penasaran banget kenapa cewek diSD gue itu pada jauhin gue. Dia juga yang apa-apa selalu ngebela gue. Dia yang sampe nanya sama saudara gue si Zahra, kenapa si Zahra itu juga ikutan ngejauhin gue." jelas Melda.
Ai tersenyum. Ia tahu bahwa sahabatnya ini benar-benar jatuh cinta.
"Gue suka ngerasa, penantian gue sampe delapan tahun ini sangat berlebihan." ujar Melda.
Ya, Melda sudah menyukai Eju sejak ia masih kelas 4 SD. Semuanya rumit, apalagi Melda sempat lost selama SMP. Dan, tiba-tiba saja ia harus dipertemukan lagi dengan Eju karena reuni SD yang ternyata sering diadakan tiap tahun.
Amelda menceritakan kisah seorang anak laki-laki yang, ya bisa dibilang dialah pahlawan Melda. Pahlawan yang membuat Melda jatuh sedalam ini. Seseorang yang pandai memasang wajah biasa saja ketika sedang bertatap muka. Dan parahnya, Melda tidak pernah bisa untuk biasa saja.
"Baik. Minggu depan kalian akan menerima nilai hasil Ujian Nasional. Jadi, tolong dipersiapkan dan selamat bagi yang mendapat SNMPTN." Kata Bu Ayu yang kebetulan menjadi wali kelas 12-IPA-2 tahun ini kemudian keluar kelas.
Ai merapikan tempat pensil yang tadi sempat ia keluarkan.
"Udah nanya dia dapet PTN dimana?" tanya Ai pada Melda.
Melda menggelengkan kepalanya.
"Bandung jauh loh dari Jakarta," kata Ai.
"Emang dia kuliah di Jakarta?" tanya Melda sambil memakai jaketnya.
"Ya mana gue tau," jawab Ai.
"Jauhan mana sih Malang-Jakarta sama Bandung-Jakarta?" sindir Melda cengengesan.
"Jauhan Malang-Jakarta sih, tapi bakalan lebih sukses move on yang jauh daripada yang deket." sindir Ai balik yang membuat Melda membulatkan matanya.
"Yakin! Gue gak bakal ketemu dia lagi," kata Melda mantap.
Ai menyunggingkan bibirnya, "Gak akan ada yang percaya sama lo, Mel. Butuh bukti, bukan janji."
Melda menghembuskan nafasnya kalah.
"Nyatain abis itu selesai. Serahin aja semuanya sama yang ngatur. Nyatain bukan nembak kan? Daripada lo pergi dengan kondisi hati gak tenang." kata Ai memberi nasehat.
"Gak ah!" tolak Melda.
"Gimana mau maju!" kata Aisyah ikut-ikutan sambil menggendong tas abu-abunya.
"Ya Melda sih gitu. Ntar kalo udah mati baru deh," ujar Rifi menekankan kata mati.
"Yee-- biasa aja dong lo! Hahaha..." kata Melda kesal sekaligus bercanda.
Tiba-tiba seorang perempuan datang dengan tas gembloknya yang berwarna biru.
"Apaan si apaan?" tanya Ira.
Ai berjalan duluan. "Ayo pulang. Kasian supir nungguin duit,"
"Supir angkot!" teriak Aisyah, Melda dan Rifi sambil tertawa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bicycle
القصة القصيرةKamu terlalu pede untuk mengikuti. Terlalu pede untuk menunjukkan bahwa semuanya tidak lebih. Terlalu pede untuk mengambil hati. Dan terlalu pede menjamin segalanya akan bahagia kalau bersama kamu. short story by amoreblossom ®2015