and

48 6 0
                                    

Iya, aku tahu kalau aku adalah wanita bodoh.

Aku tahu kalau aku terlalu banyak berharap untuk segalanya.

Aku tahu kalau aku juga bukan yang terbaik untuknya.

Aku tahu, kalau aku terlalu pemaksa.

Tapi, apa ini semua adalah akhir yang harus aku lalui.

Lima belas tahun dan pada akhirnya selesai saat ini dan dengan cara ini.

Tanpa suatu yang bahkan belum aku pastikan.

Tanpa rasanya aku ingin melihat dia lagi.

Tanpa ingin aku memenuhi permintaannya untuk bertemu.

-

"Serius gak mau ketemu dia dulu?"

Ini adalah sekian kalinya Ira dan Ai menanyakan hal yang sama. Dan aku dengan tegas menjawab, tidak.

Untuk apa aku menemuinya disana? 

Menerima undangan pernikahannya?

Atau mengucapkam kalimat semisal, selamat atas pernikahan kamu. Aku turut berbahagia. Gitu?

"Minta penjelasan."

Enggak. Aku bahkan terlanjur murka.

Aku bukan sosok wanita tegar yang bisa dengan mudah mengatakan itu.

Kalau boleh, aku ingin berlari pergi jauh meninggalkan segalanya yang aku tunggu.

Dan hidup yang baru akan benar-benar aku lalui.

-

"Terimakasih untuk teman-teman yang sudah membantu dan menemani hari-hari selama disini. Tentu bukan hal yang mudah untuk melalui ujian berat para mahasiswa. Dan, mari kita bangun apa yang belum dibangun. Semangat hidup tidak hanya terletak pada satu hal, tapi begitu banyak sumber semangat. Keterpurukan hanya akan menjatuhkan tanpa rasa belas kasihan. Sekali lagi, terimakasih."

Semua orang di aula Institut Teknologi Bandung bertepuk tangan mendengar sambutanku sebagai wakil dari setiap mahasiswa yang hadir diacara wisuda hari ini. Kedua orang tuaku tersenyum kagum atas sambutan yang aku berikan. Terlihat jelas kebahagiaan dari mereka. Sama sepertiku, tentu.

Aku berhambur memeluk teman-temanku sesaat setelah keluar dari gedung. Tertawa bahagia dan bersalaman. Tak luput berfoto dengan memamerkan senyuman bahagia.

Teman-temanku perlahan pergi menuju keluarga mereka masing-masing. Baru aku ingin berbalik, seseorang berdiri dengan tegap dibelakangku lalu mendekapku erat.

"Selamat ya dek," kata mas Irham lalu tersenyum sambil melihatku.

Aku sedikit tertegun hanya menjawab seadanya.

Dia adalah seniorku disini. Walaupun berbeda fakultas, tapi dia salah seorang yang membantu ketika gundah gulana dengan skripsi mulai menyerangku. Dia sudah S2 dan bekerja disalah satu badan astronomi Indonesia.

Keren?

Tentu. Dialah astronotku.

Seorang astronot yang datang menyelamatkanku saat aku terpuruk di planet Pluto.

Dengan tangannya yang hangat, dia menarikku mengelilingi alam semesta. Mengunjungi saturus, mendekati blackhole, mengelilingi bulan dan turun ke bumi.

Tapi aku bukan wanita yang jadi tujuan hidupnya.

Aku hanya setitik oksigen yang tersebar ketika oksigen lain dihirup.

Dia sudah menikah tepat satu tahun sebelum pertemuanku dengannya.

Tenang, aku bukan selingkuhannya.

Lihat, dia datang bersama istrinya yang cantik.

"Melda!" panggil mbak Rani melambaikan tangannya.

Aku berlari kecil lalu memeluk mbak Rani hangat.

"Iya tau deh yang udah lulus," ledek mbak Rani lalu melonggarkan pelukannya.

Dia layaknya kakak perempuan yang pencemburu namun memiliki tingkat kepedulian yang tinggi.

Beberapa bulan lalu, hubunganku dengan mbak Rani bisa dibilang semacam kucing dan anjing.

Mbak Rani mengira aku adalah wanita simpanan mas Irham. Sayangnya, mas Irham bukan sosok laki-laki yang haus wanita.

"Nanti malem kita pesta yaa?" ajak mas Irham merangkul pundak mbak Rani mesra.

Oke, aku jones disini.

Aku menggeleng cepat, "Aku tidak bisa mas,"

Mbak Rani memasang wajah cemberut, "kenapa?"

Aku hanya menjawab dengan senyuman semanis mungkin.

-

Aku sudah bersumpah untuk menghilangkan rasa yang ada. Tapi sayangnya, janjiku sebelum sumpah itu lebih penting.

-

Wohoooo----
Will the end with two or one part again. Thankyou :)

BicycleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang