Hello Jakarta
Aku kembali.
Tapi, kemungkinan Bandung akan menjadi kotaku untuk singgah kedepannya.
Kemungkinan.
Dan biarlah aku kembali untuk sedikit mengenang.
Mengenang bagaimana perjalanan indahku disini.
Mengenang bagaimana jatuh cinta diam-diam yang begitu indah namun menyakitkan.
Mengenang bagaimana tangisku meledak-ledak disini.
Dikota ini.
-
Tujuan pertama adalah tempatku menimba ilmu semasa SMA.
Dengan mengendarai motor kesayanganku ini, aku menelusuri jalan yang biasa aku lalui. Melewati ruko kecil tempatku mengganti ban yang meletus diperjalanan berangkat sekolah. Melewati gang rumah Ai, Rifi dan lampu merah yang menjadi saksi aku dan Ai ditilang polisi.
Aku tidak menangis. Belum, tapi bulir itu jatuh ketika aku berhenti tepat di Sekolah Dasar tempatku berlarian, menangis dan jatuh cinta untuk yang pertama kalinya.
Dengan keberanian, aku masuk dan memarkirkan motorku diparkiran depan kantin. Sekolah ini tidak pernah berubah. Mungkin hanya cat nya saja yang diperbarui.
Aku melewati koridor, melihat kedalam tiap-tiap kelas yang aku lewati. Sepi, tentu saja. Ini kan hari minggu.
Ini dia.
Kelas yang menjadi saksi masa-masa aku yang tidak memiliki teman perempuan hanya karena akulah anak dari seorang guru.
Memang kenapa?
Tapi bukan lagi masalah bagiku. Toh semuanya baik-baik saja sampai saat ini. Kalau saja hal itu tidak terjadi, mungkin aku tidak akan jatuh cinta pada laki-laki sok biasa saja itu.
Aku merindukannya.
Aku berharap rindu ini tidak memiliki arti yang lebih.
"Lagi reuni sendiri mbak?"
Suara seseorang membuatku cepat menengokkan kepala kearah pintu.
Jantungku lagi-lagi berdegup. Ini bukan yang pertama kalinya, tapi rasanya baru pertama kali.
Aku diam tidak mengindahkan pertanyaannya. Lantas membuang muka dan memfokuskan tatapanku pada jam dinding didinding.
Tuk.. Tuk.. Tuk..
Suara sepatunya membuatku menjauh satu langkah.
"Kenapa waktu itu gak kesini?" tanyanya.
"Buat apa?"
Aku menjawab dengan nada culas.
Dia berdiri tepat disebelahku. Tinggiku hanya sehidungnya. Sama seperti terakhir kali bertemu dengannya dikereta itu. Aku sedikit melirik kearah jari-jarinya. Mencari tanda pernikahannya. Cincin.
Ada.
Aku menghela napas pelan. Hasilnya menyakitkan tapi aku tetap ingin mengetahuinya. Dan, aku mendapatkan itu.
"Would you marry me?" tanyanya sambil memandang lurus.
Deg.
Apa-apaan dia.
Mau bercanda?
Aku hendak pergi tapi tangannya lebih dulu menahan pergelangan tanganku.
"Give me a reason." katanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bicycle
Short StoryKamu terlalu pede untuk mengikuti. Terlalu pede untuk menunjukkan bahwa semuanya tidak lebih. Terlalu pede untuk mengambil hati. Dan terlalu pede menjamin segalanya akan bahagia kalau bersama kamu. short story by amoreblossom ®2015