viii. hati-hati di jalan!

220 43 2
                                    

-alunkan sekarang :
hati-hati di jalan - tulus

viii. hati-hati di jalan

dalam sudut pandang ; penulis

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

dalam sudut pandang ; penulis

Deras air hujan membasahi atap kendaraan. Berlomba-lomba terjun meski kedatangannya tak diharapkan oleh hati yang sudah berantakan. Berserakan dan hampir pecah, menyisakan lika-liku dilema tak tentu arah.

Sejak penutupan siaran tadi tak ada kalimat yang terucap. Hanya suara detak jantung tak menentu, hujan mendung abu, dan mesin mobil yang menderu. Sisanya sudah lenyap, termakan sunyi dan senyap.

Gema berhenti di depan pagar besi sebuah rumah. Rem mobilnya mendecit seiring dengan cipratan air genangan yang tumpah. Tatapannya yang sendu berpindah pada kotak hadiah berpita merah, berharap semoga saja dia berhasil singgah.

Langkahnya yang hampir runtuh ia paksakan. Dibasuh oleh deras air hujan, kedua lengannya mendekap sang kotak putih agar tak kebasahan. Temaram lampu taman mendominasi, hingga tungkainya yang sampai pada teras berwarna putih pasi.

tok tok tok

Belum sempat ucap salam, seseorang membuka pintu dari dalam. Dia Senjani, si puan ayu yang amat Gema rindukan.

Keduanya bersitatap, diam-diam bertukar rindu melalui senandika.

Kemudian Gema tersenyum, seperti biasanya. "Selamat ulang tahun," katanya seraya menyerahkan sekotak kado yang sederhana.

"Sebenarnya mau aku kasih besok pagi, tapi takutnya kita nggak bisa ketemu lagi."

Kalimat pendeknya berhasil membuat air mata keluar dari netra sang senja. Matanya yang masih sembap kembali basah. Lagi-lagi pertahanannya kalah, dia memeluk Gema erat dengan segenap rasa bersalah.

"Maaf.." racaunya tenggelam dalam dada sang pemuda, dan senja rindu ini semua.

"Senja.. Bajuku basah, nanti kamu kedinginan."

Senja menggeleng lemah, acuh dengan hujan yang meluruh semakin kencang. "Aku gak peduli.."

Cukup lama, hingga hanya serengkuh rindu yang tercipta dalam rapuh.

Antologi kelam yang mungkin perlu diceritakan, perihal kisah lika-liku asmaraloka yang terus terjun prahara dalam tiap masanya. Prolog memang telah dimula, namun epilog cerita belum juga bersua, menyisakan jejak-jejak luka walau dari satu sisi mereka terlihat baik-baik saja.

Beribu jalan terjal sudah ditemui, namun dalam akhir ekspedisi ada sekat yang sulit untuk dipenuhi. Bukan berbeda derajat dan selisih, ini tentang manusia yang sejatinya sulit untuk memilih.

Gema masih memeluk erat, masih takut bila terpisah jarak, "Senja.. awalnya aku nggak bisa mengizinkan Bandung untuk memisahkan kita. Tetapi aku ngerti kalau semuanya enggak ada yang abadi. Berpindah kepercayaan untuk cinta ternyata nggak semudah yang kupikirkan.."

Karena sebenarnya, menusia sendiri yang memulai dan mereka pula yang harus mengakhiri. Tuhan yang menghakimi. Dan tinggal jati diri manusia saja yang ikhlas menerima atau malah sebaliknya, egois tidak tahu diri.

Gema melepas dekapannya, jemarinya menghapus jejak air mata di pelupuk netra sang senja, "Kamu nggak salah. jadi jangan minta maaf.."

Senja menunduk menatap tangan mereka masih bertaut, "Gema, butuh waktu lama buat aku berpikir terlalu jahat atau tidaknya surat yang aku kirimkan.. karena, Gema.. aku pasti akan kalah lagi kalau sudah bertemu dengan kamu."

Gadis itu mendongak, memandang lekat iris mata legam si pemuda yang selalu membuatnya nyaman."Aku masih cinta kamu, tetapi aku takut tentang perjalanan kita yang semakin lama semakin berbeda.."

Gema terbungkam, selinang air terjun membasahi pipinya. Namun ia dengan cepat menghapusnya.

Waktu membawa perubahan. Seuntai kata yang sering tertulis dalam klausa kehidupan, memang ada kebenaran. Tak semua jalan bisa seapik yang kita pikirkan. dan sebaik-baiknya hal dalam hidup, ialah cerita tentang kita yang mampu bertahan dalam lajunya perubahan.

Karena terkadang, kereta ini melaju terlalu kencang.

Gema memandang indah mata sang puan yang selalu menenangkan, "Senjani, dunia enggak mungkin disebut fana jika cuma berisi pertemuan, hanya manusia egois saja yang berani menolak hari perpisahan."

"Terima kado ini ya.. Karena mungkin kado ulang tahun dariku yang kelima gak bisa aku berikan lagi buat kamu," lanjutnya.

Gema mengulurkan tangannya, "Selamat ulang tahun! bahagia selalu yaa.."

"Terima kasih ya, Gema." Senja memeluk erat kotak putih dengan senyum tulusnya.

Pemuda itu mengangguk pelan, "Sama-sama, semoga kamu suka. Senja, sudah, ya.. Akan banyak air mata kalau aku tetap di sini."

Gema tersenyum. Seketika labium kecil itu kembali terbuka, mengucapkan rakitan kalimat yang sebenarnya tak pernah dia harapkan kehadirannya, "Aku pamit, terima kasih untuk empat tahun-nya."

Dia berbalik arah, melangkahkan kaki meninggalkan sang rumah.

"Gema!"

Langkah sang tuan terhenti, Gema kembali menatap puan yang sudah bukan miliknya, "Iya?"

"Hati-hati di jalan!"

Dia tersenyum, mengangguk pelan lalu berjalan cepat menghindari air hujan yang semakin deras lajunya. ternyata sang bumantara juga ikut berduka.

Selepasnya hanya teradu roda mobilnya yang menembus jalanan petang dan kelam. Garis petir samar-samar mengoyak perasaan. sampai beberapa menit kemudian hanya rintikan air hujan yang berkorelasi dengan air mata perpisahan. rapuh tak tertahan.

selamat malam, semoga kita bisa cepat-cepat mengikhlaskan!

teruntuk kamu, bintang yang bukan lagi bintangku,
sampai jumpa! terima kasih sudah pernah singgah!

bersambung.

Hehehehe...
maaf ya🙏🏻

yogyakarta 2O22
©justaprtm

intuisi bumi raya ; doyoung ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang