05

1.7K 243 22
                                    

Mendidik anak anjing yang akhirnya diberi nama Chalent ternyata menyenangkan. Keseharian Neil di rumah yang biasanya sendiri kini jadi ramai karena ada Chalent. Saat Altin bekerja pun, ia jadi sering menerima pesan berisi foto Chalent.

Ya, dunia Neil kini penuh dengan Chalent.

Altin tidak perlu khawatir lagi soal Neil yang kesepian di rumah saat ia kerja. Keputusan memelihara anjing ini sebenarnya memang sudah lama. Namun Altin masih ragu, ia takut kalau Neil ternyata tidak suka dengan hewan. Keputusannya bulat setelah Altin semakin kepikiran Neil yang kesepian di rumah.

"Oh? Ia sudah bisa menjabat tangan?" Altin hampir tidak percaya kalau anjingnya memang semakin pintar. Ia habis dari dapur, menggigit kukis dan membawa dua cangkir untuk dirinya dan Neil di depan TV. "Apa ia sudah bisa menggonggong?"

Neil menggeleng, "Gonggongannya selalu terdenyar lucu sekali."

"Hmm, wajar sih, kupikir nanti ia pasti akan jadi anjing yang besar."

"Dan rumah besar ini cocok sekali untuk Chalent si anak tampan ini."

Altin terkekeh-kekeh, memperhatikan Neil mengunyel-unyel Chalent. Ternyata membawa pulang Chalent pulang dari shelter adalah pilihan yang tepat.

Rencana Altin untuk membuat pagar di belakang itu sudah terlaksana, jadinya memang tetap pakai pagar kayu tinggi. Sekarang hanya tinggal menyelesaikan taman, menanam pepohonan, dan memberikan lahan untuk Chalent main. Untungnya halaman belakang itu cukup luas.

Pun, semenjak hadirnya Chalent, rumah jadi terasa lebih ramai. Mungkin karena hubungan antara Altin dan Neil juga semakin hangat. Kehadiaran Chalent ini semakin membuat rumah ini semakin hangat lagi.

Chalent ikut naik ke sofa, tidur di atas perut Neil. Neil sendiri seketika menjatuhkan tubuhnya dalam rangkulan Altin. Musim dingin akan segara datang. Tiap malam, perapian selalu membarakan api. Mungkin salju akan turun. Menyaksikan salju di rumah ini pasti menyenangkan.

"Apa danaunya akan membeku saat musim dingin?"

"Tidak. Tapi sebaiknya kau tidak mendekati danau."

"Hm." Neil menyahut, menarik tangan Altin untuk digenggaminya. "Hei, Altin."

"Ya?"

"Belakangan kepikiran untuk main piano lagi."

Altin menoleh cepat. "Piano?" sungguh ia lupa dengan yang satu itu. Tapi memang Altin tidak pernah melihat Neil bermain piano. Ah... atau Altin yang memang tidak tau?

"Altin?" Neil mendongak, "Kenapa? Wajahmu tidak enak dilihat."

"Ha? Oh. Tidak kok. Hanya tiba-tiba terpikir soal piano. Kau mau main piano lagi?"

"Yaa, kalau masih bisa."

"Tentu masih kan?"

Neil mengangkat bahu, "Sudah lama sekali aku tidak memainkannya. Aku tidak ingat kapan terakhir kali. Haah.. tapi rasanya sayang kalau harus membeli piano baru tapi tidak ku mainkan."

Altin diam, mengelusi kepala Neil. Mungkin saat dengan Aidan dulu, Neil jarang main piano. Kurang tau juga. Itu yang Altin sesali sekarang, harusnya ia tau semua tentang Neil dulu, baru berlagak sebagai suaminya.

"Besok, orang yang membuat taman itu akan datang lagi kan?"

"Ya, tapi tidak perlu terlalu kau pikirkan. Besok aku di rumah."

"Di rumah? Tidak kerja?"

"Tidak...? Oh. Aku belum memberi tau mu ya?"

Sontak Neil bangkit, mengejutkan Chalent yang agak terguncang. "Altin."

Wilted Heart (BL 19+) [COMPLETE]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang