Sepanjang di pesawat, Altin dan Neil saling diam. Terutama Altin yang seketika menjadi bisu. Paras wajahnya bercampur antara kecewa, sedih, marah. Neil tidak bisa mengartikan begitu banyak.
Chalent jadi anak baik, ia duduk di kursinya sendiri. Neil lega begitu Altin mengatakan soal pesawat pribadi, jadi Chalent tidak perlu ditinggal atau di bagasi pesawat.
"Neil."
"Ya?"
Altin hembuskan napasnya lumayan panjang. Ia yang semula duduk di hadapan Neil berpindah ke sisi Neil, merangkul dan mengecupi kepalanya.
"Kenapa Altin?"
"Tidak.. tapi aku minta maaf karena membawamu tiba-tiba. Kau pasti masih mau istirahat kan? Kau pasti lelah bekas semalam."
"Hmm.. tidak juga." dan Neil benar-benar rebahkan kepalanya di pundak Altin. "Kenapa tiba-tiba sekali kita pulang? Sebelumnya kita tidak pernah membahas soal kembali ke istana."
"Ya.. ada hal yang, mendadak harus aku urus disana. Tadinya aku mau pergi sendiri tapi aku tidak yakin, aku juga belum tau sampai kapan."
"Mendadak sekali? Urusan kerajaan ya?"
"Hm. Maaf Neil."
"Tidak apa Altin." Neil genggami tangan Altin. "Kau kedinginan ya?" karena tangannya memang dingin. Sampai Neil bawa tangan Altin ke bibir untuk menghangatkannya. "Tangan mu besar." Neil menoleh, "Punggungmu sakit Altin?"
"Tidak juga." Altin baru tersenyum, ia yakin kalau Neil ini memang setengah malaikat, kelembutan dan kehangatannya tidak pernah Altin rasakan dari siapapun. Kecupan lembut Altin daratkan di pipi Neil, mengendusinya sesaat, menghirup wangi Neil yang khas.
Neil melanjutkan tidur sebentar, dengan Altin yang tetap di sampingnya hingga mereka sampai. Pihak kerajaan sudah menjemput dan menunggu kedatangan Neil dan Altin. Tetap dibuat tertutup untuk menghindari media.
Altin berjalan merangkul Neil buru-buru ke mobil, Chalent mengikuti dengan setia. Dari bandara butuh 45 menit untuk sampai di istana. Tangan Altin makin dingin karena ia tidak sabar ingin segera sampai. Neil hanya diam menggenggami tangan Altin, dan mengelus Chalen sesekali.
Tiba di istana sekitar jam 10, telah dipastikan tidak ada media atau apapun mengikuti. Altin keluar lebih dulu, Chalent, baru Neil. Jantungnya berdebar kencang, karena jujur Altin belum tau keputusan membawa Neil pulang ini baik atau malah sebaliknya.
"Wah, rasanya sudah lama sekali."
"Hm." Altin benarkan syal tipis yang sengaja Neil pakai untuk menutupi bekas senggama semalam. "Neil, kalau merasa tidak nyaman disini, katakan padaku. Oke?"
Neil terkekeh mendengar bisikan Altin, "Mana mungkin aku tidak betah disini Altin."
"Hm." dan sahut Altin lagi, mengembangkan senyuman ramah, dan mengusapi pipi Neil. "Ayo." tanpa ragu Altin gandeng Neil masuk. Rumah amat sepi, mungkin Elisa sedang sekolah atau apa. Altin tidak tau, yang jelas.. degup jantungnya semakin tidak keruan.
Marah. Kesal. Kecewa. Semua jadi satu.
"Neil? Altin!"
"Elisa!"
Gadis itu langsung belari cepat, memeluki Altin dan berganti dengan Neil. Gadis yang akan segera sepuluh tahun ini masih sama manjanya seperti dulu. "Ah! Ini Chalent?"
"Ya, selama ini kau hanya lihat di foto kan? Alsinya ia lebih besar."
"Chalent, kau keren sekali. Wah, akhirnya aku bisa bertemu denganmu."
"Ya, selama kami disini, kau bisa main dengannya sepuasmu. Kan, Altin?"
"Ah? Um. Ya, tentu. Elisa, bisa kau ajak Neil ke kamarku? Oh. Kalian bisa main dulu dengan Chalent. Neil, kau mau istirahat atau-"
KAMU SEDANG MEMBACA
Wilted Heart (BL 19+) [COMPLETE]
Romance❝𝒀𝒐𝒖 𝒅𝒐𝒏'𝒕 𝒎𝒂𝒓𝒓𝒚 𝒔𝒐𝒎𝒆𝒐𝒏𝒆 𝒚𝒐𝒖 𝒄𝒂𝒏 𝒍𝒊𝒗𝒆 𝒘𝒊𝒕𝒉. 𝒀𝒐𝒖 𝒎𝒂𝒓𝒓𝒚 𝒕𝒉𝒆 𝒑𝒆𝒓𝒔𝒐𝒏 𝒘𝒉𝒐 𝒚𝒐𝒖 𝒄𝒂𝒏𝒏𝒐𝒕 𝒍𝒊𝒗𝒆 𝒘𝒊𝒕𝒉𝒐𝒖𝒕.❞ Itu sebabnya tidak seharusnya kita mempermainkan pernikahan. . . . ❀ 𝕆ℝ𝕀𝔾𝕀ℕ𝔸...