04

1.8K 280 69
                                    

"Altin, kau bilang hari ini aku harus ke Rumah Sakit?"

"Ya, mungkin malam. Kita harus terus memberitau soal kondisimu kan? Kalau tidak, mereka bisa khawatir"

"Ooh, begitu. Ku pikir kabar darimu saja sudah cukup."

"Tetep harus ada medical recordnya, Neil."

"Hm." Neil letakan kemeja yang baru ia ambil dari lemari ke atas kasur. Kegiatan menyiapkan pakaian suaminya ini sudah menjadi kebiasaan sejak lama. "Kau akan pulang sore lagi?"

"Sepertinya."

"Apa harus selalu pulang sesore itu?"

Seketika gerakan Altin terhenti, ia melirik perlahan ke arah Neil sedang memilih dasi dalam laci. Altin secara waras dan sadar ia paham kalau memang pekerjaannya ini menuntut Altin lebih banyak di luar rumah. Pulang sore atau malam sudah jadi kebiasaan Altin setiap hari.

Tapi untuk sebulan ini, mungkin masih baru untuk Neil. Terlebih rumah mereka jauh dari mana-mana, tidak ada tetangga, tidak ada pelayan tetap yang mungkin bisa menemani Neil saat Altin diluar. Pelayan yang datang hanya jasa bersih-bersih yang datang hanya sekadar membersih dan merapihkan rumah lalu pergi. Jadi sebenarnya, Altin sadar pasti Neil kesepian di rumah selama ini.

Hanya rasa sepinya ia pendam. Tidak pernah Neil ungkapkan karena takut justru itu akan mengganggu Altin.

"Aku... mungkin besok aku bisa libur, Neil."

"Hm, besok memang weekend dan biasanya kau memang libur."

Benar. Aku lupa soal itu. Bodoh sekali. "K-kalau gitu, kau mau pergi?" yang satu ini pun malah seperti sogokan permintaan maaf karena Altin yang membuat Neil kesepian.

"Bisa saja sih, tapi seminggu ini kau selalu pulang telat. Nanti malam juga masih harus mengantarku ke Rumah Sakit, jadi sebaiknya besok kau gunakan untuk istirahat saja."

Altin menyerah. Memang masih baru sebulan mereka tinggal bersama sebagai sepasang suami. Altin masih harus belajar banyak tentang Neil, begitu juga sebaliknya. Meski katanya mengulang dari awal.

Namun, justru mengulang dari awal lagi itu kan, jadi keduanya sama-sama mencoba untuk saling mengenal, saling paham, dan saling mengerti satu sama lain.

Altin paham rasa sepi Neil, tapi Neil juga paham pekerjaan Altin. Yang Neil pikirkan adalah kondisi Altin, bisa jadi Altin kelelahan karena pulang malam setiap hari, dan hal-hal seperti itu.

Kakinya lelangkah mendekat, Altin tunda merapihkan kemeja yang baru ia kenakan. "Neil."

"Hm?" matanya melirik, ada tangan Altin melingkar di pinggangnya. "Kemejamu bisa kusut lagi Altin."

"Kau lebih memikirkan kemejanya?"

"Ya..?"

"Akan aku usahakan pulang cepat. Ya.. aku tidak bisa janji, tapi aku usahakan."

"Oke.."

"Aku suka wangimu."

Neil terkekeh, membalikan badan dan bersandar pada laci. "Oh ya? Aku memakai sabun, sampo bahkan parfum yang sama denganmu."

"Tapi aku tetap lebih suka wanginya darimu." Altin ikut terkekeh, tangannya mengeratkan rengkuhan di pinggang Neil. Sementara pipinya lekas ditangkup kedua tangan Neil ketika ia mendaratkan ciuman selamat pagi hari ini.

"Kau seperti anak anjing besar Altin."

"Yaa, anak anjing apa yang sebesar diriku?"

Neil mengangkat bahu, mendorong Altin melepas pelukannya, melenggak meninggalkan Altin utuk memgambil kemeja baru. "Kau bilang, kau harus sudah sampai di universitas sebelum acaranya mulai. Kalau kau masih bersantai sekarang, bisa-bisa kau telat. Dan, ganti kemejamu."

Wilted Heart (BL 19+) [COMPLETE]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang