Prolog

773 30 11
                                    

Aku melihat perubahan matanya. Oh, ini sama seperti novel-novel yang aku baca. Mata coklatnya tiba-tiba saja berubah menjadi warna merah nyala api yang sedang terbakar oleh nafsu. Oke, nafsu apa itu? Nafsu laparkah?

Entah mataku yang bermasalah, halusinasiku, atau kenyataannya memang seperti ini, bibir lelaki itu memunculkan sebuah gigi taring yang panjang dari gigi atasnya, lalu menancapkan taring itu ke dalam leher jenjang si jalang yang sedang berada di hadapannya, dan wanita itu menjerit.

Aku menutup mulutku untuk menahan pekikanku. Dengan mata telanjang, dan secara langsung seperti ini, aku melihat darah merembes di antara bibir lelaki itu dengan leher wanita itu. Ya ampun, darah itu -yang sedang dihisap itu- benar-benar menjijikan. Tolong jika ini mimpi burukku, bangunkan aku sekarang juga!

"Tidak baik gadis seperti anda, mengintip adegan seperti itu. Terlebih lagi, anda melihatnya tengah malam seperti ini. Bagaimana kalau nanti anda mimpi buruk? Mimpi buruk yang lebih buruk daripada yang anda lihat?"

Tasha sayang, suara siapa itu? Sangat dingin yah.

Aku memutar badanku dan mendapatkan pria berbadan tegap tengah menatapku dengan seringaiannya. Baiklah, aku perempuan normal, dan kuakui, pria di hadapanku ini sangat tampan. Tentu! Sangat mempesona. Malaikat darimana ini?

"Jangan memujiku. Aku tidak pantas dipuji seperti itu," ucapnya dibarengi dengan hembusan berbau... amis?

Tunggu sebentar, Tasha! Apa dia baru saja berkata jangan memujinya? Aku belum berkata apa-apa sejak dia datang entah darimana, tapi tiba-tiba dia bilang aku memujinya. Oke, tadi aku memang memujinya, tapi dia tahu darimana? Padahal itu hanyalah percakapanku dengan seseorang di pikiranku. Siapa lagi kalau bukan otak kosongku itu.

"Tasha? Apa kau bisu?" tanya pria itu mulai serius. Dia tahu namaku?! Darimana? Ya ampun! Kenapa aku menjadi takut begini?

Aku menggeleng dengan tempo yang sangat pelan. Masih menatapnya, perlahan aku mundur ke belakang menjauhi lelaki itu. Bukannya mengerti kalau aku sedang ketakutan, dia justru semakin mendekatiku. Lebih dekat, lebih dekat, lebih dekat lagi. Dan aku terus menjauh, menjauh sejauh yang aku bisa, dengan pelan. Kenapa dengan pelan? Karena aku punya firasat kalau aku berlari, aku akan lebih cepat menjemput mautku sendiri.

Oh iya, aku lupa. Astaga! Tadi kan aku membelakangi si manusia bertaring itu. Dan saat aku menoleh ke belakang, aku mundur. Tentu saja itu seperti menyerahkan diri pada kematian. Hh, kenapa pikunnya sekarang sih? Lihat kan? Aku menabrak sesuatu. Sesuatu yang tinggi, berotot dan, berkeringat. Manusiakah? Kuharap iya, tapi kuharap tidak. Dasar remaja labil.

"Jadi kau yang mengikutiku?" tanya seseorang di belakangku, pria, yang tidak sengaja kakinya kuinjak, yang tidak sengaja kuraba-raba. Oh Natasha, kau mempunyai banyak masalah baru.

"Ferrell, biar aku yang urus dia. Kau urus saja wanita itu," ucap pria yang memergokiku sambil menunjuk wanita tadi yang sudah tergeletak lemas di aspal yang mungkin tengah memanas ini menggunakan dagunya. "Kubur dia di dekat rumahmu saja, agar kau gampang memberikan dia darah."

"Kubur?!" teriakku hampir terlihat histeris. Aku, yang kaget dengan teriakanku sendiri, membekap mulutku dengan telapak tangan kananku.

Pria yang kutabrak tadi tersenyum padaku, sepertinya itu tidak pantas disebut senyuman, itu lebih terlihat seperti seringaian, lalu dia berbalik dan mulai menggendong wanita itu di atas pundaknya. Dia berjalan membelakangiku, dan terlihatlah kepala wanita itu yang sedang tergantung pasrah di belakang pinggulnya yang lebar. Rambut cokelat indahnya, yang tadi sempat kupuja-puja pun tergerai terbalik. Dan di sana, di leher sebelah kiri wanita itu, ada bekas berwarna merah yang bila kutebak, bekas gigitan pria tadi.

"Wah, akhirnya kau bersuara Tasha," ucap satu-satunya pria yang tersisa di sekitarku. Lalu, apa yang harus kulakukan sekarang? "Mau berkata lagi?" lanjutnya.

"Vampir itu tidak ada," ucapku dengan volume terkecil yang aku punya. Tapi aku sangat yakin kalau dia mendengarnya.

"Jika vampir tidak ada, bagaimana denganku, Natasha?" tanyanya dibarengi dengan keluarnya taring panjang yang kuyakin itu sangat tajam. Bagaimana bisa dia mengeluarkannya dari dalam mulutnya itu?

"Asal kau tahu, ini asli." Kemudian dia menyengir padaku. Dan dia tidak berbohong. Gigi taring itu menyatu dengan giginya. Ya ampun, apa yang aku bicarakan?

Sekarang kepalaku pening. Aku pasrah. Dia vampir, zombie penghisap darah, dan aku, manusia, mangsanya. Dan ini tengah malam. Terakhir kulihat jam tanganku saat di klub adalah pukul satu, pagi. Itu bukan salahku bila aku berada di klub selarut itu. Sepagi ini. Salahkan sahabatku yang sedang patah hati di sana. Tapi sekarang, sekarang aku benar-benar kehabisan akal. Aku tidak bisa berpikir jernih. Aku tidak tahu apa yang seharusnya aku lakukan. Berlarikah? Tidak ada artinya. Kekuatannya lebih besar dariku. Atau berteriak meminta tolong? Siapa yang ingin mendengarnya? Tempat ini sudah kujamin seratus persen tidak akan ada yang mendengarnya. Gang di antara dua gedung tinggi bukanlah tempat yang ramai dan bukan tempat yang cocok untuk memelas meminta tolong. Atau, aku pasrah untuk mati? Aku tidak tahu. Tapi yang pasti, aku ingin hidup. Kalaupun ada pilihan untuk aku hidup, pilihannya adalah, hidup sebagai vampir, atau hidup menjadi budak vampir.

****

Cie cerita baru...

Kill MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang