Chapter 6

174 14 4
                                    

"Hey, Sebastian!" panggilku. "Bangunlah! Dimana rumahmu? Kau bilang kita akan pergi ke rumahmu. Tapi aku kan tidak tahu dimana rumahmu. Jadi,"

Dan tahu-tahu, dia menggeplak kepalaku. "Bodoh! Mana mungkin aku menyuruhmu pergi ke rumahku kalau kau sendiri tidak tahu dimana rumahku. Kenapa kau begitu bodoh?!"

Aku terdiam kaget. Kenapa dia memarahiku?

"Nanti ada perpotongan jalan di depan sana. Kau belok ke kanan, kembali masuk ke dalam hutan," ucapnya dengan suara rendahnya.

Aku hanya bisa menghela nafasku berat sambil berkata, "Baik, Tuan."

Dan dia benar. Di depan ada perpotongan jalan. Perpotongan itu ada yang mengarah ke kanan atau ke kiri. Jika dilihat dari jauh aku sudah bisa mengetahui kemana tujuan yang kanan dan yang ke kiri. Kalau ke kiri itu akan menuju ke pusat kota. Dan pinggiran jalannya itu sangat curam. Karena di sebelah pinggir kirinya adalah jurang yang bisa longsor kapan saja. Tapi sesuai perkataannya, aku masuk ke jalur kanan. Sebastian benar. Jalan ini menuju hutan. Kanan dan kiriku berjejer pohon-pohon tinggi yang terlihat sejuk. Dan aku tidak menyangka kalau aku akan pergi ke rumah seorang vampir.

Seorang vampir.

Jika seseorang mendengar aku berkata seperti itu, maka mereka seratus persen akan berkata bahwa aku gila. Tentu saja. Manusia mana yang mau pergi ke rumah vampir kalau bukan untuk bunuh diri? Oh, mungkin hanya Natasha seorang yang berani melakukan itu. Dan pastinya aku telah memecahkan rekor.

Semakin lama aku memasuki hutan, semakin pula aku merasa bahwa hutan yang aku masuki memiliki aura yang berbeda. Aku merasa terintimidasi. Rasanya seperti ada yang mengawasiku dari jauh. Tapi aku tidak tahu apakah ini hanya perasaanku saja atau memang itu kenyataannya.

Setelah aku bosan dengan hanya memandang jalanan di depanku dan memperhatikan pepohonan di sekitarku, aku berinisiatif untuk membangunkan Sebastian dan mengajaknya mengobrol. Ya walau aku tahu pembicaraannya akan sangat sedikit, tapi itu tidak apa. Karena sekarang, aku benar-benar ketakutan. Sepertinya matahari telah tenggelam dan cahaya bulan pun tertutup oleh pohon-pohon lebat di hutan ini

"Sebastian, aku ingin,"

"Diamlah, Nona. Aku sekarat!" ucapnya memotongku dengan suara lemahnya. Suaranya terdengar sangat parau. Dan aku sadar akan satu hal, dia tidak tidur atau pun sedang pingsan. Dia diam di belakangku dan (mungkin) dia sedang mengawasiku dengan membaca pikiranku. Dan hatiku pun tersentuh. Oh!

"Yang benar saja," ucapnya di belakangku. Dan aku hanya tertawa.

"Oke, sekarang dimana rumahmu?"

"Di ujung jalan sana."

"Di ujung jalan?"

"Ya," jawabnya. Berarti rumahnya tidak jauh lagi. Karena setahuku, hutan terpanjang di kotaku tidak akan memakan banyak waktu untuk mencapai ujungnya. Dengan berani, aku menancap gasku. Karena aku pikir tidak akan ada apa apa di dalam hutan ini. Tapi aku salah.

Dari jauh kulihat ada seseorang yang sedang berjalan melintasi jalan dan berhenti tepat di tengah-tengah. Aku pun mengerem mendadak. Siapa dia? Kenapa dia harus berhenti di tengah-tengah? Baiklah. Dia seorang laki-laki. Aku tidak begitu jelas melihat wajahnya, karena sebagian wajahnya tertutup oleh masker hitam yang sedang ia gunakan. Aku hanya dapat melihat matanya, dan tentu rambutnya. Matanya terlihat gelap. Sangat hitam seperti kopi pahit yang selalu diminum oleh ayahku. Dan rambutnya. Rambut itu terlihat acak-acakan. Entah itu memang sedang gayanya, atau rambut itu sudah tak terurus lagi sejak bertahun-tahun lamanya. Aku tidak tahu.

"Sedang apa kau di hutan ini? Siapa di belakangmu itu?" tanya orang itu.

"Aku ingin pergi ke rumah di ujung jalan ini," jawabku spontan. Karena aku pun juga merasa ketakutan.

Kill MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang