"Udah izin sama mas Fattah, 'kan?""Jangan sampai gue yang kena gampar, Sha," lanjut Ikra sebelum Isha menjawab pertanyaan pertamanya.
Kerlingan bola mata jengah menatap Ikra selaku teman juga sepupu yang merangkap sebagai adik iparnya. Dia menepuk bahu tegap Ikra lalu jalan lebih dulu. "Nggak usah takut soal masalah perizinan gue udah lulus sensor."
Ikra berdecak sebal. Dia melupakan sifat bad girl sepupunya yang saat ini menjadi kakak iparnya. "Nyesel gue sempat merestui hubungan lo sama mas Fattah. Bisa sesat kakak gue punya istri macam lo, Sha."
Ikra mengoceh, kendati demikian laki-laki itu dengan sopan membukakan pintu mobil kepada Isha. Awalnya Isha menolak menaiki mobil, dia lebih nyaman membonceng motor, tapi Ikra menolaknya secara terang-terangan. Dia dilarang oleh Fattah mengajak Isha menaiki motor.
"Manja banget jadi ipar. Awas aja kalau bikin kakak gue tekanan batin!" Ikra tidak benar-benar mengancam, justru dia bahagia ketika melihat kakaknya tersenyum menyapanya untuk pertama kali sebagai saudara. Biasanya Fattah akan bersikap formal, kecuali kepada orang tua mereka.
Bukan hanya kepada Ikra saja, tapi dengan Indra pun 'tak kalah samanya. Biasanya Fattah lebih suka memakai sapaan 'saya' daripada 'aku'. Namun, semenjak menikah dengan Isha pria itu mengikuti cara panggilan istrinya. Fattah mulai memposisikan dirinya sebagai kakak dan adik untuk kedua saudaranya. Pada intinya peran kehadiran Isha benar-benar besar, hanya saja kedua pasangan itu belum menyadarinya.
"Hoi! Kenapa melamun, sih! Kapan berangkatnya? Masuk, Ikra!" Isha kesal.
"Ck." Laki-laki itu memutari mobil lalu masuk duduk nyaman di belakang kemudi. Menatap Isha dengan tatapan kesal. "Nggak usah banyak protes lo!"
Kesal sendiri, Isha memilih mengabaikannya dengan mengalihkan kesibukan pada ponsel. Pesan-pesan dari kekasihnya belum sempat dia balas karena ketika berada di kantor Fattah gadis itu tertidur, bahkan sampai rumah pun masih tidur. Itulah sebabnya Isha mengabaikan puluhan pesan dari Reno.
"Lo masih berhubungan sama Reno, Sha?" Ikra memutar setir membelokkan ke arah kiri. "Nggak sadar diri, ya, lo."
Bukanya tersinggung gadis itu mengendikan bahunya nampak acuh. Mereka sudah sering saling memaki dan mengumpat. Hal itu wajar di keluarga mereka, apalagi umur keduanya tidak terpaut jauh, sepantaran dan satu jenjang pendidikan. Namun, percayalah kali ini yang dikatakan oleh Ikra berasal dari dalam lubuk hatinya.
Sebagai seorang adik tentu saja dia sedikit tidak terima ketika mengetahui bahwa istri kakaknya secara terang-terangan menjalin hubungan dengan pria lain.
Juga bukan salah Isha karena hubungannya dengan Reno sudah terjalin sebelum tragedi nikah dadakan dengan Fattah. Egois kalau Fattah memaksa Isha untuk memutuskan hubungannya dengan Reno.
Lain cerita Reno sama sekali tidak mengetahui hubungan antara Isha dan Fattah.
"Turun lo."
"Sensi banget sama gue, lo lagi PMS apa gimana, sih?" Suara Isha yang terdengar jengkel tidak membuat laki-laki itu melunak. Dia masih kesal karena respon Isha terhadap ucapannya yang bodo amat.
"Bodo." Laki-laki itu meninggalkan Isha di belakang yang sedang memperbaiki tasnya di bahu. Ikra masuk tanpa mengajak Isha. Meninggalkan gadis itu seorang diri.
Namun, tidak lama dari kepergian Ikra gadis itu merasakan rangkulan di bahunya. Segera saja Isha menghempaskan lengan kurang ajar itu.
"Galak banget, Neng?" Suara lembut yang dia rindukan hari ini.
"Eh? Ren, sorry aku nggak tahu kalau itu kamu," sesal Isha. Dia meraih tangan Reno lalu menggandeng lengannya.
"Masih saja jaga-jaga, tapi aku suka karena sikap antisipasi kamu ini tandanya menghargai aku sebagai pacar. Dengan tidak mudah disentuh cowok lain." Reno tersenyum tulus, bukan gaya pacaran cupu yang saat ini beredar karena mereka ini mahasiswa/i berprestasi, bahkan pacaran mereka tidak jauh dari tugas kelompok. Palingan main kalau weekend saja, itu pun jika tidak ada tugas kampus.
Skinsip dalam hubungan Isha dan Reno hanya sekedar gandengan tangan atau lengan, bahkan Reno tidak pernah menyentuh lebih selain memeluk dan mengecup puncak kepalanya. Dia benar-benar laki-laki baik. Maka dari itu, mana mungkin Isha lepaskan. Sangat jarang dia temuin di masa sekarang ini laki-laki yang menjaga kekasihnya, apalagi tubuhnya.
Dengan demikian gadis itu merasa bersalah karena menikah diam-diam dengan Fattah, meskipun pernikahan itu bukan salahnya. Sampai detik ini Isha tidak mau disalahkan atas terjadi pernikahan itu. Namun, lain cerita, dia merasa bersalah karena tidak bisa menjaga tubuhnya untuk Reno yang digadang-gadang sebagai suaminya kelak.
"Sha? Hei, ada apa, hem?" Reno mengusap sebelah pipi Isha dengan lembut. "Dari tadi aku perhatikan kamu banyak melamun. Kenapa?"
Isha tersenyum canggung menatap wajah Reno yang nampak khawatir. Gadis itu berjinjit dengan kedua tangan yang menangkup rahang sang kekasih. Jika dilihat dari belakang posisi mereka terekam jelas seperti orang berciuman.
"Aku nggak pa-pa."
Tepat setelah kata itu ke luar dari bibir Isha semesta seolah sedang bermain-main pintu mobil dibuka kasar oleh pemiliknya. Sedari tadi ketika baru saja memasuki area itu dia sudah curiga ketika merasa familiar dengan gadis yang berdiri di belakang mobilnya.
"Anggap saja aku percaya sama ucapan kamu saat ini, Sha. Kalau sampai ketahuan bohong aku bakal benci diri sendiri karena kamu berani berbohong sama aku."
Isha meneguk salivanya dengan kasar. Dia menunduk, menjauhkan tubuhnya dari hadapan Reno sehingga tangkupan tangannya terlepas. "Ya udah, yuk, masuk!"
Mereka berjalan dengan Isha yang bergelanyut manja pada lengan Reno. Entah perasaan Isha saja atau memang benar adanya. Mobil yang dia lewati mirip dengan milik Fattah. Mobil yang dibawa Fattah malam ini, tapi kenapa ada di sini?
Pikirannya melayang. Kalau pun itu Fattah kenapa dia baru sampai? Padahal jarak keduanya pergi terpaut satu jam. Makanya Isha menyakini ini bukan mobil Fattah karena dia mengetahui kepergian suaminya.
Memilih untuk mengesampingkan gadis itu tersenyum manis saat dagunya diarahkan menatap laki-laki di sebelahnya.
"Beruntung banget berteman sama orang kaya kalau ada acara penting kecipratan makan gratis, ya, Sha."
Isha terkekeh, dia mencubit lengan Reno yang digandengnya. Sifat humor laki-laki itu masih sangat rendah, tapi Isha menyukainya. Memiliki hubungan dengan Reno membuat Isha selalu happy karena laki-laki itu sukses selalu membuatnya tertawa dari banyaknya tekanan orang tua.
Meskipun benar dengan yang dikatakan oleh Reno, tapi dari nadanya laki-laki itu memang bercanda. Reno berasal dari keturunan yang memiliki cabang perusahaan kuliner di mana-mana. Namun, laki-laki itu tidak pernah sombong dengan memamerkan kekayaannya di depan teman-teman mereka, bahkan di depan Ikra yang merupakan sahabat dekatnya.
"Kamu selalu bikin aku happy disaat lagi pening begini, Ren," ujar Isha pelan mendapat sentilan kecil di keningnya dari Reno.
"Pening mikirin tugas itu wajar, Sha."
"Iya." Isha mengangguk saja memilih untuk mengakhiri percakapannya.
Dia selalu merasa nyaman dan aman, kehadiran Reno mengobati kesepiannya karena ketidakadilan orang tua. Sampai detik ini hanya itu alasannya. Perihal cinta? Isha tidak lagi mengenal apa itu cinta saat keluarganya adalah patah hati pertama dalam hidupnya. Jika keluarga saja bisa menyakiti, apa orang lain tidak memiliki peluang yang sama juga?
TBC
KIRA-KIRA HUBUNGAN ISHA DAN ORANGTUANYA KENAPA, YA? KETARA BANGET KALAU DIA MALAS MENCERITAKAN MEREKA WKWWK(.
VOTE KOMEN AND SHARE AKU TUNGGU JUGA FOLLOW KAMU, YA!
IG : sasalayyy1402
KAMU SEDANG MEMBACA
Married With Sister [Pindah ke Fizzo]
RomanceWARNING: PART SUDAH TIDAK LENGKAP. SILAKAN BACA GRATIS DI APLIKASI FIZZO DENGAN JUDUL YANG SAMA. Karena tragedi salah kamar dua saudara terpaksa dinikahkan secara mendadak. Tidak ada gaun mahal dan indah, sebuah pesta meriah layaknya 1001 malam sepe...