23. KEPUTUSAN ISHA UNTUK MEMPERTIMBANGKAN (Full-story)

293 34 168
                                    

Isha hendak menuju ke perpustakaan ketika panggilan atas namanya terdengar di belakang tubuhnya. Tangan yang mengudara langsung terkepal erat. Perlahan-lahan turun dengan embusan napas malas. "Ya?"

Pertanyaan dengan nada yang sangat amat malas itu membuat dahi laki-laki di belakangnya berkerut.

Isha membalikkan badannya. Kini kedua tangannya memeluk laptop di depan dada. Ada senyuman sebagai respon atas panggilan sang kekasih.

Masih pantas disebut kekasihnya, 'kan? Walau sekarang rasanya kecewa berat kepada Reno. Namun, sekali lagi mereka lebih banyak mengukir rasa bahagia. Isha menganggap yang terjadi saat ini hanya ujian kecil.

"Ren, aku tahu apa yang mau kamu lakukan. Menyakinkan aku?"

"Kita bicara, ya?" bujuk Reno berusaha menggapai tangan Isha akan tetapi, langsung ditepis oleh gadis itu.

"Kita break dulu."

"Sha." Reno mengiba. "Kita bisa bicarain ini dulu. Kamu jangan mengambil keputusan dengan gegabah seperti ini."

Menghiraukan permintaan iba kekasihnya gadis itu justru memberikan penawaran yang lebih membuat Reno terdiam tak berkata-kata.

"Segampang itu udahan? Kamu nggak bisa asal putus begini, Sha. Ini hanya salah paham saja."

"Pilihan ini ada di tangan kamu. Break atau putus," ucap Isha benar-benar tidak menghiraukan. Kembali melanjutkan langkah kakinya memasuki perpustakaan.

Isha menengadah dengan senyum tersungging. Pilihannya bukan hal yang salah. Mereka berdua membutuhkan waktu untuk sama-sama berpikir. Terlebih ia yang harus banyak berpikir. Apalagi Isha terusik dengan kehadiran Fattah.

Apakah gadis itu sedang mempertimbangkan siapa yang akan dipilih untuk hidupnya?

Entahlah. Hanya Isha yang tahu.

Isha tergolong bergerak tanpa memberitahu.

Ia juga sedikit terusik dengan sikap Riskha yang hendak mendekati suaminya, terlebih bagaimana respon Riskha yang menghendaki dirinya menjauh dari Reno. Namun, semua itu perlu pertimbangan yang matang. Untuk saat ini menjeda hubungannya menjadi pilihan Isha.

Ponsel yang berada di dalam saku hoodie tiba-tiba bergetar, untung saja Isha sudah biasa menggetarkan ponsel tanpa nada dering. Kalau sampai ditegur oleh petugas perpustakaan ia sudah pasti diusir dari sini.

"Lo di mana?" tanya Riskha tergesa-gesa.

"Perpustakaan, kenapa?"

"Gue ke sana sekarang, deh," katanya yang langsung mematikan sambungan telepon.

Isha berdecak sebal. Sudah biasa dengan tabiat Riskha yang seperti ini.

Menunggu kehadiran sang sahabat gadis itu pun menyibukkan diri dengan rangkungan materi. Jari-jari lentiknya menari di atas keyboard dengan tatapan begitu fokus menatap ke layarnya.

Tak berselang lama suara derit pintu terdengar dan sosok Riskha sudah duduk di depannya. "Cepat banget sampainya."

"Gue emang sudah jalan mau ke kantin terus belok ke perpus, deh. Ngomong-ngomong gue ngeliat Reno duduk di taman. Lo ketemu?"

Isha mengangguk tanpa berpikir panjang.

"Serius?! Terus kalian ngapain aja?"

"Cuma ngobrol sebentar. Itu pun di depan pintu."

"Ya maksud gue kalian ngobrolin apaan, Sha? Nggak mungkin cuma say hello doang, 'kan?" Geregetan Riskha sampai ingin menyakar wajah Isha. Apalagi tatapan temannya begitu fokus dengan pekerjaannya. Seakan pembahasan ini tidak begitu penting bagi Isha.

"Yang di pojok harap tenang!"

"Mampus," lirih Isha. "Mending lo diam aja kalau masih mau di sini," lanjutnya.

Karena sudah mendapatkan teguran seperti itu membuat Riskha mengunci rapat-rapat bibirnya. Gadis itu mati bosan bahkan sudah membuka berbagai aplikasi sosial media untuk membunuh jenuh. Namun, apalah daya ada orang di depannya malah sibuk sendiri.

"Sha, main dulu sebelum balik. Mau nggak?" tanya Riskha berharap banyak dengan jawaban Isha.

"Ke mana?"

Mendapatkan respon aktif Isha sontak membuat Riskha langsung duduk dengan tegap. "Nonton? Makan? Atau belanja? Lo lebih mau yang mana?"

Isha berpikir cepat. "Nonton aja, deh. Kita sudah lama nggak nonton," jawabnya. "Udah nggak ada kelas lagi, 'kan?"

"Kosong. Aman."

***

"Memangnya harus banget izin sama mas Fattah, Sha? Kan tadi sudah bilang ke Ikra biar dia nggak nungguin lo baliknya."

"Gue berangkat sama Ikra pulang juga sama dia kalau nanti pulangnya sendiri-sendiri pasti dicecar. Lebih baik izin ke mas Fattah saja biar nanti baliknya aman. Mama nggak akan tanya-tanya maksud gue," jelas Isha panjang lebar supaya temannya paham bahwa dirinya memang tak bisa bebas bepergian ke sana ke mari.

Riskha mengangguk-anggukkan kepala paham. "Udah, 'kan?"

Memasukkan ponselnya ke dalam tas lantas mengangguk. Tak lupa memasang sabuk pengaman sebelum mobil bergerak meninggalkan area kampus. Walau rasanya sedikit resah karena belum adanya balasan dari sang suami, tapi setidaknya sudah meminta izin. Nanti ketika Fattah sudah senggang pasti akan membaca pesannya.

Ya seperti itu saja karena Isha tak mau semakin membuat Riskha curiga.

Keduanya benar-benar harus menikmati menonton sore ini karena sudah jarang hangout bersama dengan kesibukan masing-masing. Lebih tepatnya kesibukan Isha yang banyak berkelit.

"Gue yang beli minumnya karena lo yang beli cemilannya. Nggak usah nolak begitu, Ris," kata Isha sebelum Riskha mendebat lagi. Sudah biasa kalau pergi berdua pasti selalu barter begini.

"Ya sudah kalau begitu, padahal gue ada uang lebih khusus untuk main. Niatnya mau traktir lo tahu, Sha."

"Kapan-kapan saja kalau pas di kampus. Biasanya tanggal tua gue miskin, Ris."

Keduanya terkekeh lantas masuk mencari nomor bangkunya.

"By the way gue masih penasaran sejauh ini perasaan lo ke Reno sudah sejauh mana, Sha? Kayaknya lo pun merasa berat buat ambil keputusan ninggalin Reno. Memangnya dia sudah kasih apa saja ke lo, Sha?"

"Harus banget dikasih sesuatu sejenis barang supaya bisa disebut dikasih. Padahal gue nggak pernah berharap itu. Dengan Reno yang ngasih waktunya untuk gue itu sudah lebih dari cukup, kok."

"Kalau itu susah juga ngukurnya. Ibaratnya si Reno selalu ada kapan pun lo butuh dia. Tapi kalau dilihat dari kelakuan dia di belakang lo kira-kira aja gimana respon lo? Udah ilfil apa belum? Nggak mungkin pikiran lo masih positif aja. Gue yakin pasti sudah mulai goyah, 'kan?"

Sound keras di bioskop seakan sengaja dipergunakan oleh dua orang itu. Tanpa perlu berbisik-bisik takut orang lain mendengarnya.

"Daripada lo kepo soal perasaan gue saat ini yang sudah lo tahu kayaknya gue lebih kepo sama lo, deh, Ris. Kenapa lo bisa tiba-tiba ngebet minta dicomblangi sama mas Fattah. Lo nggak lagi diburu sama pertanyaan 'Kapan', 'kan?"

"Sembarangan!" Riskha mendesah kecil. "Mana ada begitu. Gue udah bosen jomblo, apalagi kalau lo pergi sama Reno gue kesepian tahu."

"Hanya alasan itu?"

Riskha mengangguk mantap.

"Itu artinya lo menggunakan mas Fattah sebagai pelampiasan?" tuding Isha cepat dengan mata menukik tajam.

TO BE CONTINUED

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 18, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Married With Sister [Pindah ke Fizzo]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang