05. JANGAN TERLALU TEGANG

1.2K 64 99
                                    


    "Sha, sarapan dulu sini," panggil Rumi melambaikan tangannya meminta Isha untuk mendekat membuat gadis itu menurutinya.

    Dia mengambil bangku di sebelah Fattah yang sudah makan lebih dulu. Mungkin karena ada jadwal ke lapangan sampai pria itu buru-buru tidak membangunkannya, padahal pagi biasanya Isha akan dibangunkan untuk salat subuh. Beruntunglah saat ini sedang berhalangan.

    Lengannya disenggol pelan oleh Ikra membuat gadis itu meliriknya singkat lalu kembali fokus pada piring.   

    "Udah minta maaf sama Mas Fattah apa belum, Sha? Jangan sampai jatah gue dipotong gara-gara lo," bisik Ikra menunduk dengan mulut mengunyah.

    "Apa hubungannya bego," semprot Isha tak kalah berbisiknya.   

    "Mah, kayaknya Mas mau berangkat dulu, deh, nggak usah bawa bekal karena jam makan siang sudah di rumah."

    Perbincangan bisik-bisik Isha dan Ikra terhenti ketika suara Fattah terdengar dengan lirikan singkat. Sontak saja Isha memalingkan muka seolah magnet intimidasi pria itu terasa begitu nyata.

    "Sekalian saja mengantar Isha ke kampus, Mas," ujar Cakso. Pria paruh baya itu sedang di rumah setelah 3 hari berada di Lombok untuk kepentingan bisnis. Pria itu mengatakannya dengan santai tanpa peduli Isha yang melotot dan Ikra tersenyum senang.

    "Semoga saja kalian baikan biar hidup gue aman damai sentosa," bisik Ikra membuat Isha mencubit pahanya kecil yang dibalas pekikan keras cowok itu. Orang-orang yang berada di meja makan menatap keduanya heran penuh tanda tanya.

    "Baik-baik saja, Mama," kata Ikra secepat mungkin sebelum ditanya macam-macam oleh ibu negara.

    Kini giliran Isha dan Fattah yang saling pandang. Pria itu langsung berpamitan kepada kedua orangtuanya, lain hal dengan Isha yang menimang-nimang.

    "Kok masih di sini saja, Sha? Suamimu sudah ke depan, lho, Nak," ujar Rumi lembut. "Gih, susulin sebelum mobilnya berangkat."

    Menghela napas pelan gadis itu mengambil tas selempangnya. Menatap Ikra dengan aura permusuhan yang kentara jelas bagi cowok itu.

    "Sialan."

    ***
   
    Berada satu mobil dengan Fattah membuat suasana dingin mencengkeram bagi Isha. Dia tidak biasa mengunci bibir, tetapi saat ini terpaksa untuk bungkam. Apalagi setelah melihat wajah datar suaminya semakin membuat Isha tidak berani ngomong barang sepatah kata pun.

    Mobil berhenti di antara deretan pengendara lain. Lampu merah kali ini terasa lebih lama beroperasi ketimbang saat bersama Reno.

    Demi menghilangkan rasa jenuhnya gadis itu bermain ponsel dengan posisi tubuh menyender pada jendela mobil. Menatap sekeliling jalanan yang dipadati oleh manusia.

    "Nanti pulang jam berapa?" tanya Fattah saat lampu merah berwarna hijau.

    Gadis itu menengok sekilas memperhatikan Fattah cukup lama lantas berkata, "Sekitar jam 1 siang udah pulang, kok, Mas."

    Fattah mengangguk singkat. "Tunggu di gerbang nanti aku jemput," ujar pria itu tiba-tiba tanpa diduga.

    "Eh, nggak usah, Mas. Nanti malah merepotkan." Gadis itu menolak. Tidak ingin membebankan Fattah, meskipun itu memang kewajibannya.

    Bukanya menjawab penolakan Isha, justru membawa mobilnya menepi di pinggir jalan yang sepi pengendara.

    Gadis itu melirik kanan dan kirinya. "Mas, kenapa berhenti?" tanya Isha takut-takut.

Married With Sister [Pindah ke Fizzo]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang