Air mata mengalir deras di pipi Mina. Malam ini adalah satu peristiwa yang tak berani Sana olok-olok.
"terus aku harus gimana? kamu gimana?"
Chaeyoung mengusap lembut pipi kekasihnya. Dengan jari telunjuk, air mata itu diseka, "kamu pulang dulu ya.. aku janji, aku bakal nemuin kamu besok.."
"ke kos gue aja, Mina tidur sana" Sana menyela, dan disetujui oleh Mina
Chaeyoung mengerti. Ia tersenyum agar meringankan rasa cemas Mina. Satu pelukan hangat diberikan sebelum kekasihnya pergi. Dan setelahnya, pelukan itu diganti dengan sebuah ciuman intens yang mengharukan.
Sana membuang muka. Hanya ini satu-satunya adegan yang ia harap segera berakhir. Hatinya mengomel, kenapa harus di depan gue sih elah!
Ruangan sempit itu akhirnya kosong. Sana di ambang pintu gerbang, sementara Mina masih dipelukan kekasihnya. Chaeyoung menghadap pada Sana, tersenyum seolah berterima kasih, dan Sana mengangguk serta membalas senyumnya.
--
Kejadian tak terduga terjadi seharian ini. Rasanya lelah sekali untuk memikirkan semuanya. Tapi, diujung ranjang, Mina dengan air matanya yang menetes-netes dan tisu di tangan menceritakan bagaimana sikap Chaeyoung sebenarnya.
Sana mendengarkan saksama. Ia juga penasaran kenapa Mina begitu membudak dengan cinta yang Chaeyoung berikan, padahal bukan sekali dua kali telah diselingkuhi.
"sebenernya ini salah gue, dia ga pernah dalam tanda kutip bener-bener selingkuh" ingus ditarik, "dia tu kadang kepergok jalan gitu, tapi waktu gue tanyain engga ada apa-apa.. dan guenya udah terlanjur emosi"
Sana menunggu kelanjutan cerita. Duduk berhadapan, memeluk kedua lutut. "Tapi gue pernah tanya sama cewe yang jalan sama dia, katanya mereka ga ada apa-apa, chaeng cuma pengen cerita, gitu.. kalo dia sampe cari orang cuma buat cerita berarti problemnya ada di gue yang gabisa ngertiin dia" tangis Mina pecah.
Sana menepuk-nepuk lengan sahabatnya, mencoba menenangkan sembari mencerna setiap kata tidak jelas yang keluar dari mulut Mina, gadis itu bercerita di tengah tangisannya.
Sana yang dingin, cuek, jutek, dan tak punya rasa peduli sejenak hilang. Ia membuka hatinya perlahan. Dan di sana ada ketenangan. Ada rasa yang membuat dia seolah beruntung. Ia berbaik hati mendengarkan Mina bercerita, hingga pagi mulai datang. Mereka benar-benar begadang. Sampai tubuh yang lelah itu tak terasa mencari posisi ternyaman, dan mata terpejam.
--
Bunyi alarm telah lewat berjam-jam yang lalu. Tubuh ramping dengan kaus dan celana pendek masih pada posisi yang sama. Entah karena kokok ayam tetangga, atau suara bising orang-orang pulang kerja, perlahan mata itu terbuka. Berkedip-kedip menyesuaikan cahaya di sana. Harapannya itu adalah pagi yang tepat.
Nyatanya ketika ponsel di depan muka, kecerahan layar menusuk mata. Angka di dalamnya teramat mengejutkan
"16.33?!"
"Shit!!"
Sana beranjak, berdiri sempoyongan tak tahu mau kemana. Mina sudah tidak ada di kamarnya. Jam perkuliahan sudah selesai pukul 3 sore tadi. Dan yang tersisa adalah unit kegiatan mahasiswa panahannya, itu pun sudah berlangsung lewat dari setengah jam.
"gue harus kemana ini.. woy, aduh.. mikir Sana. "
Sana terus menerus mengerang, merutuki kebodohannya. Maka tanpa berpikir panjang, dengan wajah penuh minyak, rambut tanpa di sisir, ia meraih totebag, kemudian berlari keluar meninggalkan kamar yang tak dikunci.
--
Sana betul-betul berantakan. Kesadaran sepenuhnya kembali. Ia tak berani memulai percakapan dengan siapapun. Semua yang ada di sana sudah bersiap dengan busur dan masing-masing melakukan praktek, sementara dirinya cuma duduk, menoleh kanan kiri, bingung.
Ia tak membuka suara begitu juga orang-orang di sana. Tak ada yang mengajaknya berbicara. Tidak seorangpun mengacuhkan kehadirannya. Tawa, teriakan terdengar, tapi seolah dirinya tak ada.
Tapi, konsisten ia menunggu. Ia sudah terlanjur di sana. Mau apa lagi?
Beberapa anak istirahat, beberapa yang lain berganti memanah. Sana di hampiri oleh salah seorang teman beda jurusan, Miyeon.
Gadis itu menenggak minum, lalu bertanya lirih, "lo kenapa anjir? telat sejam lebih"
Sana berdeham, kemudian menjawab tak kalah lirih, "gue baru bangun, ketiduran"
Miyeon menahan tawa, tapi ia tak berani. Bisa kena marah jika ia berlaku baik pada orang yang salah. Sana mengerti, ia meminta Miyeon untuk kembali berlatih, sedang ia tetap duduk menunggu.
Berjam-jam lamanya Sana duduk di sana tanpa melakukan apa-apa. Hanya saja selama waktu itu, ia memandang Tzuyu yang serius melatih anak-anak. Ada rasa perih di hatinya kala melihat Tzuyu bersikap dingin padanya.
Bahkan sampai ketika anak-anak sudah pergi dan berpamitan, tak ada satupun yang menyapa Sana kecuali Miyeon yang pamit pulang.
Sana masih duduk, tatapan tertuju pada Tzuyu yang berdiri memegang busur kotor dan membersihkannya. Sana yang pemberani hilang, tersisa dirinya yang bernyali ciut.
"tzu.." Sana pelan-pelan memberanikan diri berjalan menghampiri
"tzu gue minta maaf"
"tzu gue tadi bangun kesorean, gue bahkan engga kuliah, tapi karena gatau tadi pikiran gue kemana akhirnya gue kesini tanpa persiapan, gue pikir-"
Tzuyu melirik, Sana tak melanjutkan kalimatnya, "baru minta maaf? dari tadi ngapain?"
Sana menelan ludah sekali, jantungnya berdebar kencang bukan karena jatuh cinta, namun nada bicara Tzuyu begitu kejam.
"ya.. ini gue minta maaf" Sana kembali menjadi Sana.
"segitunya date? pulang jam berapa lo?"
Mendengar itu, amarah Sana meluap. Begitu banyak masalah yang ia hadapi kemarin dan Tzuyu dengan entengnya menuduh dirinya berpacaran hingga lupa waktu.
"kok lo bahas date si? ga ada hubungannya kali"
"Na gue tau gue temen lo, tapi nggak gini.. gue kerja.. kalo lo gabisa hargain kegiatan ini mending keluar" nada bicara Tzuyu rendah, tapi setiap katanya diucapkan begitu tegas
Sana dengan suaranya yang melengking tersulut emosi, "lo aneh kalo bawa-bawa masalah pribadi gue.. tau apa lo soal gue?!"
"kenapa jadi lo yang marah?"
"ya lo ngeselin, gue udah minta maaf malah lo bahas yang lain.. lagian kenapa gue harus hargain kegiatan ini? lo kerja yang bayar juga kampus, mau gue dateng apa engga, ga bakal ngaruh!"
Tzuyu menganga tak percaya. Ia kesal, tapi wajah Sana saat ini jauh lebih kesal. Aneh..
Gadis itu menenteng kembali tasnya, meninggalkan Tzuyu yang menatapnya keheranan.
Tzuyu tak kalah letih. Ia hanya bisa pasrah dengan kelakuan partner kegiatannya itu. Tak tahu apa yang telah Sana lalui hingga bisa semarah itu, yang jelas itu bukanlah sebuah alasan.
Kembali pada tanggung jawab. Busur dan anak panah di rapikan. Hari ini selesai, tapi hubungannya dengan Sana belum.
Entah sampai kapan Sana akan bersikap semaunya sendiri. Bagi Tzuyu, mengenal Sana sedari SMA tak membuahkan apa-apa. Eksistensinya tetap kosong. Dan sampai kapanpun Sana akan tetap menganggap ia tak ada.
TBC
Happy reading epriwonnn🌹
KAMU SEDANG MEMBACA
On Fire!
FanfictionBuat seru seruan aja. Siapa tahu Tzuyu jadian sama Sana warning : genben, kata kasar