8. Lovey Dovey, Uneasy

243 37 4
                                    

Sore yang sejuk menjadi waktu yang pas bagi Tzuyu untuk menceritakan setiap detail kekejaman yang Sana lakukan sejak sekolah menengah. Beberapa hari belakangan ini mereka jauh lebih akrab. Sana tak merespons kalimat-kalimat Tzuyu dengan senggak ataupun sikap acuh tak acuh.

"Lo jangan ngarang ya Tzu? Gue tau gue cuek tapi engga gitu juga kali.." Sana mengelak kalimat Tzuyu yang mengatakan jika ia membuang botol minum Tzuyu hanya karena ada di tempat duduknya.

Tzuyu terkekeh seraya menjilat eskrimnya. Mereka terus berdebat sambil berjalan berdampingan sepanjang bahu jalan. "Lo kok engga percaya si, orang gue korbannya" terkekeh lagi, kali ini Tzuyu mendapat tinju di lengan kirinya.

"Aduh! Terus waktu gue tanya apa busur yang ini dipake, lo malah diem dan pergi, inget gak? Enggak kan?" cecar Tzuyu lagi.

Mendengar itu, Sana benar-benar mati kutu. Ia tak pernah sadar seberapa jahat dirinya dalam kondisi terpuruk. Ya, Sana menjadi Sana yang seperti itu karena kematian ayahnya yang belum bisa ia terima.

Eskrim Sana mulai menetes dan mengotori jari-jarinya. Tzuyu yang menyadari hal tersebut menatap penuh pertanyaan.

"Na? Lo nggak apa apa?" tanya Tzuyu khawatir. Ia menarik Sana yang tiba-tiba terdiam ke kursi panjang dekat lampu jalan.

Tisu dikeluarkan dari tas, diusapkan pada jemari Sana yang penuh eskrim cokelat. "Na? Lo jangan nakut-nakutin gue dong, masa tiba-tiba kesurupan??" Tzuyu mulai panik, digoyangkannya tubuh Sana, tapi gadis itu masih bergeming menatap jalanan.

"Gue lagi mikir.." Ucap Sana pelan. "Gue kecewa sama sesuatu yang wujudnya aja gak ada" lanjutnya sembari menjatuhkan stik eskrim di antara sepatunya.

Tzuyu membenarkan duduknya. Matanya mengikuti arah pandang Sana. Ia mengerti alasan Sana bersikap demikian. Itu yang menyebabkan Tzuyu betah dengan Sana, mau seberapa pun jahatnya gadis itu, ia tetap suka.

"Itu wajar kok, kehilangan orang yang kita sayang emang mengecewakan" ujar Tzuyu.

Sana menoleh, menatap Tzuyu dari samping. "Lo kenapa betah sama gue?" tanyanya.

Tzuyu mengukir senyum, masih memandang jalanan yang mulai ramai. "Gue suka lo dari SMA" wajahnya berpaling menatap wajah Sana di sampingnya. Tatapan mereka terkunci pada hari yang mulai gelap dalam perasaan asing.

Antara terkejut dan sudah tahu, Sana masih terdiam. "Lo nggak perlu suka sama gue kok" kata Tzuyu seraya tersenyum, lalu membuang muka serta menarik napasnya dalam. "Karena gue tahu, lo bakal bilang 'kalo kita suka sama seseorang, kita ga boleh berharap orang itu juga suka sama kita' kan?" Ujar Tzuyu lagi, nadanya masih tegas tanpa putus asa. Tapi,

"Gue suka sama lo"

Pernyataain itu hampir mirip sebuah keajaiban. Tzuyu masih tercengang mendengar kalimat barusan. Perasaannya langsung campur aduk, sampai ia tak berani menatap mata Sana. Tzuyu masih terdiam, menunduk, menatap lantai beton. Bibirnya bergetar ingin berucap saat keadaan mulai diselimuti keheningan. Namun, Sana menyela lebih dulu, "tapi gue takut gue ga suka sama lo sedalam lo suka sama gue" katanya, kemudian memalingkan wajah.

Posisi berganti, Tzuyu menoleh cepat menatap Sana yang menunduk, "Na.." Ia tak berpikir bahwa itu adalah ketakutan Sana, "dalam suatu hubungan, bagi gue gak penting siapa yang rasa sukanya lebih besar, siapa yang bisa ngukur coba?" Hampir tersedak Tzuyu membayangkannya, "yang penting kita sama-sama cinta gak sih?" ucapnya menggebu.

Lagi-lagi kalimat Tzuyu menimbulkan kecanggungan. Mereka dikelilingi keheningan jilid dua. Tzuyu jadi salah tingkah karena ucapannya sendiri. Matanya melirik-lirik, dan badannya menegak. Sedangkan Sana mendongak dan mulai menatapnya.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 19, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

On Fire!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang