07

20 2 0
                                    

Reno membuka matanya dengan perlahan dengan atensi yang sepenuhnya menatap langit-langit kamar dengan Anna seksama dan nelangsa. Ini masih pagi bahkan dia baru memulai hari, tapi kenapa seluruh badannya terrasa remuk seperti baru saja di cambuki? Jam masih menunjukkan pukul dua pagi masih terlalu dini untuk merasakan nyeri di uluh hati. Itu semua hanya mimpi 'kan? Naila tidak meninggalkannya bukan? Naila masih di rumah tertidur lelap 'kan? Lalapo nya Reren tidak pergi 'kan?
Semua pertanyaan tanpa jawaban itu memenuhi isi kepalanya dengan memuakkan.

Reno menatap Anna yang tertidur sambil memeluknya dengan erat, tapi kenapa Reno sama sekali tak merasa hangat? Seolah-olah yang menghangatkan adalah bagaimana dia dapat memeluk Naila di dinginnya udara malam.

Laki-laki itu terjebak. Dia terjebak dalam perrasaan kagum yang di lapisi dengan kenyamanan yang dia buat sendirian. Harusnya dia sadar, tapi kenapa dia malah jatuh semakin dalam di saat hadirnya hanya sekadar menghibur di waktu dia di tinggal sendirian?

Setelah menatap langit-langit kamar cukup lama, Reno memilih menyingkirkan lengan Anna dengan perlahan agar tidak membangunkan wanita itu. Reno bangkit berjalan keluar rumah, berkeliling komplek seorang diri dengan perrasaan lara yang menyakitkan.

Reno berharap dia hanya di landa mimpi buruk belaka. Reno berharap Naila tidak meninggalkannya. Lalu bagaimana jika itu semua adalah kenyataan yang memaksanya untuk kembali merasakan lara setelah sekian lama?

Kita do'a 'kan saja, semoga tidak..

[°●°●°●°]

Reno berjalan dengan tas yang laki laki itu sampirkan di salah satu pundak rapuhnya. Dia berjalan di fakultas arsitek yang masih sepi, bahkan Reno bisa bertaruh kalau baru dia yang melewatinya. Ini masih pukul setengah enam pagi, dan dosen pembimbing baru akan mendatangi kelasnya sekitar tiga jam lagi.

Reno membuka pintu yang ternyata tidak di kunci, dia berjalan kearah kursi yang selalu dia duduki, menatap penuh heran pada sebuah kertas yang di tempel di meja yang biasa dia tempati. Reno duduk dan membaca sebuah tulidan yang entah di tulis oleh siapa.

"Seperti segelas teh hangat yang di minum saat hujan mengikat. Hidup akan manis atau pahit sesuai dengan bagaimana kau membuatnya."

Reno memutar otak, memikirkan siapa yang sudah mengiriminya surat seperti ini di meja yang biasa dia duduki? Apakah dia mempunyai stalker? Tidak itu tidak mungkin! Bagaimana laki-laki seperti Reno Khuangsyah mempunyai penguntit? Tentu saja tidak mungkin! Ayolah Reno hidup di negara Indonesia bukan Korea Selatan.

Tapi siapa yang tahu kalau saat ini dari luar ruang yang di dalamnya ada Reno. Seorang dengan wajah yang tertutup karna masker hitam dan memakai pakaian serba hitam. Mungkinkah dia orangnya? Mungkinkah Reno memang benar-benar tidak melihat, atau hanya sebuah kepura-puraan? Karna Reno tahu kalau sedari tadi dia di ikuti.

Mengambil sikap tidak perduli, itu yang Reno lakukan saat ini.

Reno memilih diam dengan  pandangan yang terus menerus kearah pada papan tulis yang besar, sesekali dia akan mengalihkan perhatiannya pada kursi yang biasanya Naila duduki. Dengan harap kalau sang empunya tempat, segara datang menemui.

Tapi seandainya Reno tahu, bagaimana Naila bisa menjenguknya di saat wanita itu saja tengah berada di ruangan penuh bau obat dengan mata yang terpejam dengan kuat?

"Nai. Lo nggak benar-benar ninggalin gue 'kan? Gue takut gue nggak bisa nemuin lo lagi. Gue__ terlalu takut perrasaan ini hilang dan berpindah pada orang yang salah." Reno menatap kursi di sebelahnya dengan nelangsa.

Dulu perrasaan yang menyesakkan dada itu tidak benar-benar ada, tapi kenapa sekarang dia takut perrasaan itu berpindah pada orang yang tidak seharusnya?

{2} Pelangi diujung Senja | Huang Renjun✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang