Bab 10

158 21 3
                                        

Happy Reading!

"It's their big secret."

Reina merasa lebih lega setelah tadi menangis di pelukan Doyoung. Ia menatap langit-langit kelas yang ditumbuhi tanaman merambat, kemudian melirik orang di sampingnya.

"Bang, ga papa kan aku ngomong banyak ke Abang?" Tanya Reina pelan. Doyoung hanya diam, tidak menjawab.

Reina mengulum bibir, kemudian mengangguk samar. Sebisa mungkin ia tidak akan melakukan hal yang membuat Doyoung kambuh.

"Ntar kalo Abang mau bunuh aku, aku harus lari kemana lagi?" Gumaman Reina terdengar di pendengaran Doyoung. Doyoung menoleh, kemudian mengangguk samar. "Ga papa. Kalo aku mau bunuh kamu, kamu lari yang jauh dan jangan berisik ya." Balasnya tanpa ekspresi.

Reina menelan saliva. Sungguh Abang yang mengerikan. Namun ia hanya bisa mengangguk mengiyakan.

"Bang, Abang benci aku kan? Mamah juga benci aku. Papah kemarin ngebela aku, bikin Mamah murka dan nyerang Papah," Reina mulai bercerita. "Aku ga bisa pulang kerumah. Aku takut. Rumah ku hancur."

Reina menoleh ke Doyoung, dan berlirih, "maaf bikin hidup Bang Doyoung hancur."

Doyoung memejamkan matanya, kemudian menggeleng samar. "Nggak. Itu bukan sepenuhnya salah kamu. Keluarga kita memang sudah hancur dari dulu. Meskipun itu tertutupi selama bertahun-tahun, tapi pada akhirnya keungkap juga." Ucapan Doyoung membuat mata Reina terbelalak.

Maksudnya?

"Kamu tahu? Nenek kita psikopat. Nenek bunuh kembaran Papah karena Papah durhaka, dan itu bikin keluarga kita jadi terkutuk. Paman juga psikopat. Papah yang tumbuh dilingkungan seperti itu bukan orang baik," Doyoung mulai bercerita. "Mamah juga ketularan pyscho. Dan genetik pyscho itu emang nurun ke aku, ditambah trauma masa kecilku."

Doyoung menatap Reina, membuat Reina diam kaku. "Nggak ada yang mengalah dan berusaha menjadi lebih baik. Semuanya egois, termasuk aku. Dan itu yang buat kutukan keluarga kita nggak selesai-selesai." Ujarnya.

"A-abang mau bantu aku selesain kutukan keluarga kita?" Reina bertanya takut-takut setelah beberapa menit hening.

Doyoung menyeringai tipis, kemudian mengangguk. "Iya. Abang juga mau lawan jiwa psycho ini dan hidup normal."

Mata Reina berkaca-kaca. Ia terharu karena Abangnya ingin berubah.

Eh, tunggu. Ini bukan sandiwara, kan?
Apakah Reina terlalu cepat percaya pada abangnya?

Reina menghela napas. Tidak apa jika ini memang hanya sandiwara Doyoung. Tapi setidaknya, Doyoung telah mengatakan hal yang ingin membuatnya berubah.

"Ehm, Bang. Aku mau ke rumah dulu, mau bantu Papah," ucap Reina ragu-ragu.

Doyoung menoleh kearahnya. "Ayo, aku ikut."

Netra Reina terbelalak. "E-eh, di luar berisik, Bang. Abang ga papa?" Tanyanya ragu.

Seringai tipis terulas di wajah tampan Doyoung. Ia mengeluarkan sesuatu dari saku bajunya.

S I L E N T ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang