06 - Inhale, Exhale

414 71 33
                                    

Tujuh tahun silam, Hanan berpikir bahwa sebuah jabatan tinggi di perusahaan ternama akan membuatnya dan keluarga meraih bahagia. Bisa membuat dapurnya terus hangat dan mengepul, membelikan istrinya baju dan perhiasan brand ternama, bisa memenuhi semua kebutuhan anak-anaknya dan membawa mereka bermain ke tempat yang indah.

Apalagi saat Biru lahir. Bungsunya sedikit istimewa, sehingga harus dilakukan perawatan lebih. Mau tak mau, Hanan harus memutar otak agar semuanya tidak kekurangan.

Namun, nyatanya semua hanya angan dan asa ketika ia bisa meraih posisi yang diharapkannya.

Berpindah perusahaan dan mendapat jabatan yang diinginkan nyatanya tidak membuatnya bisa meraih bahagia dengan cuma-cuma. Ada harga mahal yang harus dibayarkan sebagai pengganti atas apa yang dicapai dan didapatnya.

Hanan harus merelakan waktu berharganya demi memenuhi tanggung jawabnya yang baru.

Hanan juga harus merelakan pikirannya terbagi, bukan hanya perihal istri dan anak-anaknya, tetapi juga mengenai pekerjaan yang tidak bisa diabaikan.

Tak jarang, saat di rumah pun, ia harus tetap berkutat dengan dokumen yang belum sempat ia selesaikan di kantornya.
Sehingga tanpa disadari, ia mengacuhkan keluarganya, bahkan banyak tertinggal mengenai perkembangan dan permasalahan masing-masing anggota keluarga.

Semalam saja, ia hampir tidak tidur karena menunggu e-mail laporan dari Andri dan mempersiapkan beberapa bahan untuk rapat. Parahnya, sampai nyaris subuh pun tidak ada sama sekali. Sudah dihubungi beberapa kali pun hasilnya tetap nihil. Alhasil, Hanan pasrah pada rapat kali ini.

Awalnya rapat hanya akan dilakukan oleh anggota internal saja sebagai Briefing sebelum rapat inti dilakukan. Namun, rencana itu pupus saat Hanan mendapat pesan dari atasannya bahwa rapat inti akan segera dilakukan. Mengingat waktu untuk projek mereka kali ini tidak banyak.

"Permisi, Pak." Andri masuk dengan sopan sesaat setelah Hanan memanggilnya.

Hanan yang semula fokus dengan layar komputernya, mengangkat kepala dan melepaskan kaca matanya. Menyandarkan punggung pada kursi untuk bisa sedikit mengistirahatkan tulang dan ototnya.

"Kamu mau ngapain ke kantor hari ini?" yanya Hanan mendominasi.

Andri gelagapan. Takut-takut ia akan salah menjawab pertanyaan Hanan.

"K-kerja, Pak," jawabnya gugup.

"Apa yang mau dikerjain?" Hanan menelisik Andri begitu tajam sampai seolah akan mengulitinya, sedangkan Andri hanya menunduk dan menyesali apa kesalahannya.

"Hari ini ada rapat inti dengan eksekutif ..." Andri kembali menjawab.

Terengar tawa remeh yang keluar dari mulut Hanan. Detik selanjutnya terdengar dengusan tak suka yang membuat Andri emakin menciut. "Wah, masih kepikiran ikut rapat ternyata?"

Andri kembali dalam kebisuan.

"Ada pembelaan?"

"Maaf, Pak ... Semalam toko Ibu saya kerampokan dan ada beberapa orang yang luka ...," ucap Andri gugup.

"Dengar ya, Andri. Saya terima alasan kamu yang kena musibah semalam. Tapi bukan berarti kamu gak luput dari kesalahan. Pertama, kamu udah selalu bilang semuanya aman dan seolah bisa kamu handle. Kedua, kamu udah nyanggupin kerjaan itu di saat ada orang lain yang mungkin jauh lebih baik dari kamu ...."

" ... Dan terakhir, kamu gak bilang apa-apa tentang keadaan kamu. Kalo misalnya semalem ada ngomong aja ke saya atau rekan kamu yang lain, kejadiannya gak bakal kayak gini."

"Maaf, Pak." Lagi, hanya kata itu yang mampu Andri ucapkan.

Hanan menghela napas berat.

"Sekarang laporannya udah saya Back-up. Yang lain juga udah mulai nyiapin materi rapat. Masih ada waktu lima belas menit lagi sebelum rapat dimulai." Suara Hanan yang demakin tegas sukses membuat Andri tertunduk dalam. Aura mencekam ruangan 6 meter persegi itu terasa menghimpit dada sampai sesak menyeruak.

Menuntut Bahagia pada Ayah ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang