16 - Segores Luka, Lautan Duka

451 61 26
                                    

Jangan salahkan siapapun bilamana kemujuran sedang singgah menguji iman
Merenunglah sekejap,
Kiranya sikap dan sifat apa yang telah diperbuat
Terlepas dari segala kepayahan dalam diri
Segala kerisauan dalam sanubari
Akan ada setitik dengki yang mampu menodai ketulusan hati

Ikhlaskan semuanya
Jangan lagi berlaga menyalahkan semesta
Memangnya siapa kita sampai berani bertindak sedemikian rupa?
Tergores sedikit saja sedih bak tenggelam di samudra lara
Lalu, apa maksudnya seolah paling berkuasa?

________

Hanan pernah berucap dengan tenang pada keluarganya. Saat itu, semua anggota keluarga sedang duduk bersama di teras belakang rumah sambil menunggu senja. Arini yang membawa empat cangkir teh hangat, satu gelas susu cokelat, dan dua piring kudapan yang aromanya menggelitik indra penciuman.

"Jangan pernah menyalahkan siapa pun jika kesusahan singgah menguji iman."

Begitulah katanya pada Arini sambil memerhatikan anak-anaknya bercengkrama. Sang istri jelas mengerti akan petuah tersebut. Karena sudah berulang kali Hanan menekankan bahwa apa yang terjadi dalam kehidupan mereka jelas sudah ada garisan takdir.

Begitulah yang dirasakannya detik ini. Musibah yang ia katakan beberapa tahun silam itu, nyatanya sedang singgah dalam kehidupannya. Saat sebuah kalimat berdenging di pendengarannya.

"Yah, pulang dulu ke rumah."

Hanan tidak berani untuk mendengarkan lebih lanjut suara Arini di balik ponselnya itu. Rasanya, saat mendengar suara sendu itu pun sudah membuatnya melemas. Tidak pula berani untuk bertanya ada apa gerangan, sebab baru membayangkan beberapa kemungkinan saja, sudah diterjang ketakutan.

Maka, sekarang di sinilah dirinya berada. Duduk dengan penuh harap disertai cemas tepat di dekat jendela besar pesawat. Beberapa menit setelah Arini mengabari lewat telepon, Hanan langsung memesan tiket pesawat untuk kembali pulang.

Lemas di tubuhnya akibat sakit beberapa waktu lalu, tidak lagi dirasa olehnya. Berganti dengan raga yang berjalan lunglai tanpa tahu arah tujuannya. Yang ia lihat adalah seorang lelaki yang lebih muda darinya sedang menunggu kedatangannya di bandara.

"Hanan," panggil Riyadi, kakak lelaki Arini.

"Biar saya aja yang bawa barangnya, Mas." Mungkin, Riyadi melihat kepayahan yang ada pada diri Hanan. Maka, dengan cekatan koper milik Hanan sudah berpindah tangan.

Selama perjalanan, tidak ada sepatah kata pun yang keluar dari kedua lelaki dewasa tersebut. Hanan dapat menangkap bahwa ada jejak kesedihan dalam setiap embusan napas Riyadi. Sampai rasanya kesedihan itu mencekik Hanan dengan kuat. Semua pikiran positif yang semenjak tadi dipertahankan mati-matian oleh Hanan seketika hancur saat melihat bagaimana sembabnya wajah Riyadi.

"Mas. Arini sama anak-anakku baik-baik aja, 'kan." Hanan tidak bertanya, tetapi berusaha untuk mempertahankan keyakinannya.

"Mas ...."

Selama hampir satu jam mereka beada dalam mobil yang sama. Hanan baru berani membuka suara saat ini. Saat mobil yang dikemudikan oleh Riyadi hanya tinggal beberapa puluh meter dari depan matanya. Sebuah tenda terpasang dengan kuat dengan beberapa orang yang terlihat melemparkan tatapan berduka saat masuk ke dalam rumahnya.

"Ikhlas, Nan." Hanya dua kata itu yang mampu diucapkan sebagai penenang.

"Ikhlas, Nak."

Kalimat Riyadi sama dengan kalimat yang ia ucapkan beberapa tahun silam pada Biru. Kala itu, Biru baru saja kehilangan kucing kesayangannya dan terus menangis sampai anak itu jatuh sakit. Begitu ringan ia ucapkan, sedangkan Biru yang mendengar tetap menangis tersedu.

Menuntut Bahagia pada Ayah ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang