05 - Mereka Bahagia Tidak, Ya?

385 68 50
                                    

Ada yang punya uang lebih, tetapi tidak memiliki waktu luang untuk menikmatinya. Ada yang memiliki jabatan tinggi, tetapi tidak bisa berkumpul dengan keluarga hangatnya. Jadi, bersyukurlah bagi mereka yang diberi rezeki waktu lebih untuk menikmati bahagia.

Itulah pesan Ayah pada suatu malam di teras depan dengan secangkir kopi hitamnya.

~🌹🌹🌹~

Hari tetap berjalan dengan semestinya. Penuh cerita, kendati tidak selalu berakhir bahagia. Siang berganti petang, petang menghitung langkah menjadi malam, dan malam tetap setia menanti fajar. Masih dengan rutinitas dan kesibukan masing-masing, semuanya berlalu begitu saja seolah tak kenal waktu.

Malam ini, Hanan melepas penat akibat pekerjaannya di teras depan. Rutinitas yang selalu ia lakukan setiap hari. Kadang berteman dengan anak-anaknya, ataupun dengan pekerjaan yang masih belum selesai di kantor.

Sesekali jemarinya dengan lincah mengetik rangkaian huruf hingga menjadi kata. Matanya yang dibantu oleh kacamata baca juga tidak lepas dari layar laptop. Pun, Hanan sudah beberapa kali menghela napas lelahnya. Mungkin ada kendala ataupun sesuatu yang tidak sesuai dengan seharusnya.

"Yah," panggil si anak perempuan yang baru saja keluar dari dalam rumah dengan secangkir kopi di tangannya.

Hanan mengalihkan fokusnya untuk memenuhi panggilan itu. Lalu, matanya tak lepas dari Shafira hingga sang anak duduk di depannya dan meletakkan cangkir kopi dengan hati-hati.

"Ini kopinya, Yah," ucap Shafira kembali.

"Makasih, ya. Kebetulan Ayah udah mumet banget." Dengan segera, Hanan menghentikan aktivitas sebelumnya dan meraih cangkir kopi yang ada di meja. Ia sandarkan tubuhnya sembari menyesap aroma kopi hitam yang begitu menggoda.

Shafira hanya tersenyum sebagai balasan. Dirinya memang tidak terlalu dekat dengan Hanan. Padahal, katanya anak perempuan cenderung lebih dekat dengan sang ayah. Namun, Shafira justru lebih nyaman dengan ibunya.

"Abangmu ke mana? Kemarin katanya mau ngomong sesuatu sama Ayah." Hanan meletakkan kembali cangkir kopi di atas meja.

"Abang udah masuk kamar. Mungkin ada tugas, Yah," jawab Shafira jujur.

"Kopinya bukan buatan Ibu, ya?" tanya Hanan tiba-tiba.

Shafira sedikit panik. Takut kopi yang dibuatnya tidak sesuai selera Ayahnya. Padahal, ia sudah bertanya pada ibunya mengenai takaran kopi, gula dan airnya.

"Kenapa emangnya, Yah?"

"Rasanya beda. Tapi, tetep enak, kok." Hanan berucap santai. Merenggangakan otot leher, tangan dan pinggang yang kaku karena dia pakai seharian.

"Ibu ke mana?" tanyanya lebih lanjut.

"Ibu lagi nemenin Biru kerjain PR."

"Kakak bikinin teh hangat gak buat Ibu?"

Shafira mengernyitkan kening, sedikit aneh dengan pertanyaan ayahnya. Karena seingatnya, ibunya tidak meminta dibuatkan teh hangat.

"Kakak mijitin Ibu, gak?" tanyanya lagi.

Shafira menggeleng lemah. "Enggak. Emangnya kenapa, Yah? Ibu kan seharian di rumah aja. Gak minta dibuatkan teh hangat juga."

Menuntut Bahagia pada Ayah ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang