13 - Tunggu Ayah

315 60 29
                                    

Siang harinya, keadaan Biru tidaklah membaik. Suhu badannya masih belum turun dan menunjukkan angka derajat yang lebih tinggi dari sebelumnya. Ditambah mual yang menyerangnya semalam, kini membuatnya harus muntah dalam beberapa kali. Batuk yang dalam beberapa hari menyerang pun turut memperparah kondisinya.

"Kita ke rumah sakit ya, Sayang."

Dengan telaten Arini memasangkan kaos kaki dan jaket pada anaknya. Menyiapkan pakaian ganti dan beberapa hal yang mungkin akan dibutuhkan di rumah sakit. Melihat bagaimana keadaan putranya yang begitu lesu dan lemah, Arini yakin Biru akan membutuhkan opname.

Pengalamannya sebagai seorang Ibu lebih dari belasan tahun, tetapi tetap saja akan panik melihat anaknya sakit sampai tak berdaya seperti itu. Sebelumnya, Arini memang telah melakukan pertolongan pertama. Memberikan kompres hangat dan memberi Biru banyak minum air putih. Namun, nyatanya itu tidak cukup membantu dan Biru butuh pertolongan lebih. Maka pilihan terakhir adalah membawa Biru ke rumah sakit untuk ditangani oleh orang yang lebih ahli.

"Bu ...," panggil Biru parau.

"Iya, Sayang? Kenapa? Mual lagi? Mau minum?"

Biru menggeleng lemah. Hal itu justru mengundang atensi lebih Arini. Wanita akhir empat puluhan itu mendekat, mengusap lembut kepala anaknya yang terbaring di tempat tidur.

"Ada apa, Sayang? Bilang aja sama Ibu," ucapnya lembut.

Biru tidak lantas menjawab. Pikiran sederhananya sedang mengolah kata untuk bisa diungkapkan pada ibunya. Ia juga tidak mengerti apa yang diinginkan. Yang jelas saat ini Biru merasa bahwa ada yang mengganjal dalam hatinya.

Hari ini, ia sangat ingin berkumpul dengan ayah dan ibunya. Ingin dipeluk seharian oleh ayahnya, ingin dimanja oleh ibunya. Ingin diperhatikan oleh kakak-kakaknya. Pokoknya hanya itu yang diinginkan. Bahkan mungkin sakitnya akan sembuh jika keinginan sederhananya itu terpenuhi. Namun, Biru bisa apa? Ia hanya seorang anak kecil yang belum mengerti apa-apa. Belum mengerti segenting apa permasalahan ayahnya sampai harus rela berangkat bekerja saat Biru sedang sakit.

Entahlah, Biru pusing memikirkannya.

Akhirnya, ia memilih memendam perasaan sederhananya, tetapi begitu rumit dipikirkan olehnya.

"Kenapa, Nak? Hm?"

Sebuah gelengan kecil tercipta, tetapi rautnya masih menyendu. Arini jelas menyadari ada sesuatu. Namun, memaksa Biru bukanlah pilihan yang baik. Pada akhirnya, Arini hanya mampu mengelus surai halus anaknya. Menyapu anak rambut yang menutupi keningnya, sampai mengecup dengan sayang Biru.

Hawa panas menjalar ke wajahnya. Tidak tega Biru harus merasakan hal tersebut. Ingin menggantikan rasa sakit itu saja kalau bisa.

"Sabar, ya, Nak. Kita sekarang mau ke Dokter biar sakitnya ilang, ya."

Arini meraih ponselnya untuk segera menghubungi Hanan. Ia tidak bisa menunggu lebih lama lagi atau Biru bisa dehidrasi. Maka ia akan mengabari bahwa ia membawa Biru ke rumah sakit sekarang juga.

~🌹🌹🌹~

Hanan menyusuri lorong panjang rumah sakit. Mencari dan bertanya di mana letak ruang perawatan khusus anak. Setelah mendapat telepon dari Arini bahwa Biru dilarikan ke rumah sakit, maka tanpa berpikir panjang Hanan segera menyusulnya.

"Maaf, Bu. Mau tanya atas nama Sagara Biru Narendra dirawat di kamar berapa?" Hanan akhirnya sampai di ruang khusus anak. Lalu, bertanya pada petugas yang berada di resepsionis ruangan.

"Sebentar, saya cek dulu, ya, Pak." Dengan cekatan, jemari petugas itu lihai mengoperasikan aplikasi khusus dalam.komputernya.

"Anak Sagara Biru Narendra ada di ruang rawat nomor satu, Pak. Silahkan Bapak masuk lewat pintu sebelah sini dan belok kanan," jelas petugas tersebut.

Menuntut Bahagia pada Ayah ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang