10 - Pinky Promise

326 61 60
                                    

"Masuk!" seru Hanan saat mendengar ketukan pintu di ruangannya.

Tak lama kemudian, pintu kayu berwarna cokelat itu terbuka, sehingga menampilkan sosok Andri dengan sopan dan segan.

Hanan menoleh, dan menghentikan pekerjaannya sejenak.

"Oh, ada apa lagi, Ndri?" tanyanya masih dengan nada kurang ramah. Mungkin sisa-sisa kemarahannya masih ada. "Sini duduk dulu."

Andri patuh pada perintah Hanan. Segera menarik kursi di depan meja kerja Hanan dan duduk di atasnya

"Mohon maaf, ya, Pak mengganggu jam makannya. Saya mau melaporkan hasil dari lapangan tadi. Ternyata barangnya memang tidak ada."

Hanan menghela napas lelah. Sudah pasrah dengan hilangnya barang yang menjadi tanggung jawabnya. Biarlah, ia anggap sebagai kerikil dalam pekerjaannya. Adapun jika ia nanti dipinta pertanggung jawaban, ia akan dengan lapang dada mempertanggung jawabkannya.

"Ya sudah, mau bagaimana lagi. Nanti coba kita pikirkan solusinya," jawab Hanan.

Andri menundukkan pandangannya. Memainkan jemari dengan sedikit gelisah.

"Ada yang mau diomongin lagi, Ndri?" Hanan menyadari keterdiaman Andri.

"Eh?" Andri sedikit tersentak. Namun, segera mengontrol ekspresinya. "Anu, Pak. Ini tadi Ibu titip kotak makan siangnya."

Andri menyodorkan satu tas yang berisi beberapa kotak berisi nasi, lauk pauk beserta buah di atas meja. Hanan tahu, sebab sudah menjadi kebiasaan Arini menyiapkan makanan sehat untuknya.

"Oh, iya. Makasih banyak, ya. Nanti saya makan kalo kerjaan udah beres." Hanan mengambil tas berisi kotak makan siang itu.

Niat hati dirinya memang tidak akan menyempatkan diri untuk makan siang. Pertama, karena memang awalnya ia tidak membawa bekal. Kedua, karena pekerjaannya menuntut untuk diselesaikan segera.

Namun, melihat kotak makan yang sengaja Arini antarkan ke kantornya dengan keadaan kurang sehat, membuatnya meluluh.

Apalagi saat mengingat perlakuannya yang tidak mengenakkan pada istrinya. Mempermalukan di depan banyak orang hanya karena dirinya khawatir, tetapi justru membuat Arini kembali dirundung sedih.

Belum terlambat untuk menyesal, 'kan?"

"Kamu juga boleh istirahat, Ndri."

"Iya, Pak."

Hanan tak lagi bersuara, tetapi kali ini ia benar-benar menghentikan pekerjaannya.

"Soal yang tadi ...." Hanan mengehentikan ucapannya sambil membereskan beberapa kertas yang berserakan.

" ... Maaf, ya. Kamu jadi harus liat kejadian sama istri saya."

Andri tidak merespon, bingung akan kata yang pantas ia ucapkan. Dalam benaknya merasa ingin marah melihat seorang istri diperlakukan seperti itu oleh suaminya sendiri.

"Saya gak tau, kenapa sifat buruk saya yang suka marah gak bisa dihilangkan, bahkan sama istri dan anak saya sendiri."

"Padahal, jujur sekali. Saya sayang sama mereka. Tadi juga saya marah bukan karena tidak senang atas perhatian istri saya ...." Andri masih mendengarkan dengan seksama.

"Tapi, karena saya khawatir, Ndri. Istri saya sedang tidak enak badan dan dia nekat datang ke sini. Saya takut dia kenapa-napa. Tapi, bodohnya saya gak bisa ngontrol diri saya buat gak marah." Tampak raut menyesal dari wajah Hanan.

"Saya lagi bener-bener stress sama masalah kantor yang sekarang," lirih Hanan.

"Pak, mohon maaf sebelumnya kalo kesannya saya ikut campur dalam urusan rumah tangga Bapak. Tapi, boleh saya kasih saran?" tanya Andri hati-hati. Takut bila menyinggung perasaan Hanan yang emosinya sedang tidak stabil. Bisa-bisa malah ia yang terkena amukan selanjutnya.

Menuntut Bahagia pada Ayah ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang