Maaf, dan Sebuah Penyesalan

7 1 0
                                    

Rasanya aku tidak lagi ingin kembali ke sebuah tempat yang disebut rumah. Bukan karena tidak ada kenyamanan, tidak lagi karena itu. Hanya saja rasanya tidak cukup kuat bagiku untuk kembali.

Aku ingin meminta maaf dengan benar. Setelah seumur hidup memposisikan diri sebagai korban yang seolah tak punya pilihan. Memiliki ego yang tinggi sejak dulu nyatanya tidak berguna. Aku terbiasa tidak mau kalah, dan tidak menerima kekalahan. Sombong.

Aku terlambat ya? Seperti kata ibuku, aku sudah terbiasa dengan hal itu. Mengubah kebiasaan seumur hidup bukanlah seperti membalikkan telapak tangan. Tapi tidak memulai mengubahnya saat ini karena merasa hal itu percuma juga sama saja.

Ada yang mengatakan bahwa lebih baik hidup mengalir seperti air. Tapi sebagai seseorang yang mempelajari mekanika fluida, aku tahu bahwa air selalu mengalir ke bawah. Kecuali jika ada usaha yang mendorongnya untuk naik ke atas.

Dan aku sudah membuktikan hal itu, hidup seperti air. Tanpa usaha. Tanpa keinginan untuk bergerak ke atas.

Tuhan menunjukkan hal ini dengan nyata. Tidak berbelit-belit dengan kata-kata. Benar yang dikatakan orang-orang, hidup ini ujian sebelum pembelajaran.

Aku menulis ini di malam jumat, saat azan maghrib, dan menyadari betapa banyak waktu yang kusia-siakan. Bahkan untuk menyembah Tuhan.

-14722.2-
Lla

Aku dan Apa yang KupikirkanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang