7

24 2 0
                                    

Selasa pagi itu cerah berawan. Angin berhembus lembut, meniup-niup dahan pepohonan. Seorang pria jangkung berkacamata menyeret koper super besar melewati pintu kedatangan Bandara Internasional Yogyakarta. Dia menempelkan ponsel di telinga kirinya, menunggu yang di seberang mengangkat telepon.

" Hey boy! Aku sudah sampai! Kau di mana? "

" Di sebelah kanan Hyung! "

Dia menoleh sesuai instruksi, dan bergegas menghampiri saat netranya menangkap sosok yang sejak tadi ia cari.  " Dennis! "

" Welcome to Yogyakarta, Jery-Hyung! "

Jeremiah--rekan segrup Dennis dan Bryan--memeluk Dennis singkat.

" Nice weather by the way.  "

" Tidak setiap hari, but right, nice weather. " kekeh Dennis.  " Ayo ke rumah, istriku sudah masak enak. "

" Chicken? "

" Yeah chicken!  "

———————————

Jarum jam di arloji yang dikenakan Bryan menunjukkan pukul 11:45 ketika pesawat yang dia naiki mendarat di Bandara Soekarno-Hatta. Dia otomatis melirik ke samping, di mana Lasea menunggu hiruk pikuk penumpang mereda. Wanita itu menggenggam tali tasnya erat. Ia sesekali mengecek ponselnya, entah mengabari siapa atau membuka aplikasi apa, Bryan juga tak tahu.

Pria itu bergegas bangkit ke lorong pesawat dan memberi ruang yang cukup luas.
" Lasea," panggilnya. Lasea pun menoleh. " After you, My Lady. "

" Thanks for your kindness. " senyum Lasea seraya berjalan keluar. Bryan segera mengekor. Di belakangnya beberapa kru panggung mengikuti, sementara Altaf dan Stefan sudah keluar lebih dulu.

Setengah jam kemudian, rombongan mereka sampai di restoran yang masih ada di dalam kawasan bandara. Makan-makan sebentar, mengobrol dan bersenda gurau melepas penat. Beberapa dari mereka memilih duduk santai di area outdoor untuk merokok. Termasuk Al dan Stefan.

Bryan menautkan alisnya bingung.

Tidakkah merokok akan merusak organ dalam manusia? Apalagi bagi penyanyi. Rokok juga mempengaruhi kualitas suara dan kesehatan pita suara juga, bukan?

" Kenapa Om? "

Pria itu mendongak. Ren yang kali ini juga ikut, sudah berdiri di samping mejanya.

" Itu... Kakak-kakakmu... "

" Jangan dipikirkan. Sudah biasa kok mereka. " sahut gadis itu.  " Om gabung aja ke meja kami. Cuma ada aku sama Mama, bosen jadinya. Yuk. "

" Eh tapi... "

" Eiy, no worries. C'mon. "

Yah, mereka sudah dewasa dan punya hak memilih bagaimana harus menjalankan hidup, begitu pikirnya. Lagipula mereka di luar ruangan, setidaknya tidak mengganggu orang yang memiliki pilihan yang berbeda. Jadi Bryan memutuskan untuk tidak memikirkannya lebih jauh.

Bryan akhirnya menuruti Ren. Dia bergabung ke meja Lasea. Sekali lagi, dadanya berdebar hebat.

" Lasea.  " katanya. Lasea mendongak dan tersenyum.

" Oh, iya Mas Bryan, silakan duduk.  Sudah makan?  "

" Sudah habis tiga porsi.  " kelakarnya seraya tergelak. " Makanannya lumayan juga. Ah tentu tak lebih enak dari masakanmu. "

" You're flattering me. "

" No really. "

" Om pinter gombal ya. " tawa Ren pecah.

Love Has Nothing To Do With AgeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang