[4]

747 75 17
                                    

Suara perapian masih mendominasi kastil besar itu. Pemiliknya, satu-satunya mahkluk berakal yang menghuni kastil itu, menyesap perlahan cangkir yang masih berisi tiga perempat teh. Hatinya sangat kesal, tapi dia berusaha menahan semuanya. Toneri sering teringat momen ketika Hinata tinggal di kastil ini dengannya, sebelum gadis itu pergi kembali ke bumi. Itu hanya beberapa hari, tapi memiliki kesan yang teramat dalam bagi Toneri. Hinata adalah orang pertama dari bumi yang menapakkan kakinya di kastil peninggalan Hamura itu, dia juga satu-satunya orang yang mengisi kekosongan hati Toneri. Setelah bertahun-tahun dalam kesendirian, kehadiran Hinata bagai sebuah obat bagi batin Toneri. Jika saja dia tahu kesalahpahaman ini, dia akan mendekati Hinata dengan perlahan dan pantas. Sekilas terlintas ingatan saat dia hampir menghabisi ayah Hinata, Hyuuga Hiashi. Sial! Bahkan semua perilakunya tak bisa ditoleransi. Di lubuk hati terdalam, Toneri benar-benar merindukan putri byakugan itu. Sedari kecil dia selalu memperhatikannya. Takdir harusnya membawa mereka ke dalam ikatan pernikahan. Tapi semua melenceng jauh hanya karena kesalahpahaman para tetuanya.

Prang.
Toneri melempar cangkir di tangannya ke perapian di depan tempat duduknya. Dia mendekati perapian yang masih menyala itu.

"Sial!!! Bunyi api itu berisik sekali! Aku hanya ingin ketenangan! Tak bisakah satu saja keinginanku terkabul?!" Toneri sontak mengeluarkan bola cakhra berwarna biru dari tangan kanannya. Lalu dengan penuh amarah dia menghempaskannya ke perapian. Jadilah perapian itu padam, menyisakan sedikit asap keluar dari situ.

Toneri masih berdiri di tempat. Raut mukanya menunjukan seseorang yang sedang kesal dan emosi. Ini sudah beberapa saat dan amarahnya sedikit banyak telah mereda. Dia tersentak seakan tersengat listrik. Toneri perlahan menyadari tingkah anehnya. Dia masih diam di tempat, berdiri termenung, dan meresapi apa yang terjadi barusan. Matanya mengernyit. Ada apa dengan dirinya? Tidak seharusnya dia marah-marah pada perapian itu. Api itu tidak berdosa. Bahkan dia sendiri yang menyuruh pelayan bonekanya untuk menyalakan perapian itu. Tubuhnya terduduk lemas tepat di depan korban kemarahannya itu. Dia pikir, dirinya sudah tidak waras. Kepalanya menunduk, dan yang lebih parah, kelopak mata kosong itu mengeluarkan air mata.

"Apa yang sedang kau lakukan, Hinata? Aku benar-benar merindukanmu, kau tahu? Haruskah aku melanggar ucapanku dan pergi menemuimu? Bolehkan aku berharap kau masih mengingatku?" Air mata Toneri keluar semakin deras. Jika dipikir-pikir, apakah rasanya sesakit itu hingga tanpa bola mata dia bisa menangis? "Sial! Aku bodoh sekali. Pasti kau sudah bahagia bersama pria itu, bersama Naruto. Iya kan, Hinata? Bagaimana ini, Hinata? Aku sangat ingin bertemu dan berbicara denganmu. Bahkan jika hanya sebagai teman, bukan, bahkan jika sebagai orang asing pun, aku tak masalah. Aku sangat ingin menemuimu, Hinata."

Toneri bangkit tanpa mengusap air matanya. Dia berjalan pelan menuju kamar yang pernah ditempati Hinata. Semuanya tetap sama, bahkan dia tidak mengganti selimut bekas Hinata. Dia duduk di tepian ranjang besar itu, lalu membaringkan diri di bantal yang pernah Hinata kenakan. Mata kosongnya terpejam. Hidungnya membaui aroma bantal yang menguar, namun sayangnya bau Hinata sudah tidak ada.

"Aku benar-benar gila. Tidak bisa, aku tidak bisa seperti ini terus."

.
.
.

"Kalian yakin akan ikut? Apa tidak merepotkan?" Tanya Naruto kepada Shikamaru, Shino, Kiba, Sai, dan satu lagi, Akamaru.

"Tentu saja. Kami akan selalu membantumu, Naruto," jawab Sai dengan senyumannya. Rekannya yang lain pun ikut tersenyum untuk menjawab Naruto, tak lupa Akamaru memberi satu gonggongan yang jika diterjemahkan berarti dia setuju.

"Lagi pula, nanti kau akan butuh bantuan kami, Naruto." Ucap Kiba sambil menepuk pundak Naruto.

"Em. Terima kasih banyak," jawab Naruto penuh haru. Naruto lalu membunyikan bel rumah di depannya. Raut mukanya masih menunjukan seorang yang putus asa. Hanya ini satu-satunya harapannya.

Trust Me, Hinata!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang