빛을 보다

391 22 2
                                    

— Melihat Cahaya —

.

.

.

       "Ayah.. Ayah, kamu dimana?"

       "Ibu.. Ibu, kamu dimana, Ibu?"

       Suara lembut itu terus terdengar di kegelapan rumah yang berantakan. Tangan kecil itu menumpu dinding, meraba agar tidak tertabrak benda ataupun tidak terjatuh. Dia tidak dapat melihat apapun, lampu di rumahnya mati, hanya kilat petir yang menyambar di langit yang membantu penerangan walau singkat dan berjeda. Hujan lebat sedang terjadi di luar sana.


       "Ayah? Ibu? Kalian dimana?"

       Mata itu terus mengedar, berusaha menajamkan penglihatannya di kegelapan.

       "A-Ayah.. Ibu? Lampunya mati, kalian tahu Tae tidak bisa tidur tanpa lampu yang menyala 'kan?"

       Langkahnya perlahan melambat saat dia merasa menapak ruangan bebas, matanya langsung menyapu pandangan pada apa yang bisa dilihatnya.

       Dan matanya langsung melebar ketika petir kembali menyambar. Dia bersumpah, bukan keinginannya untuk melihat mayat kedua orang tuanya yang berlumur darah, tergeletak dengan tubuh tercabik-cabik dan tersayat, serta darah yang menggenang dimana-mana.

       Tangannya terangkat, menutup mulutnya saat cahaya si kilat langit menyambar-nyambar, memperlihatkan keadaan ruang tamu mewahnya yang berantakan bak baru saja terkena angin besar.

       "Ayah..? Ibu..?"

       Manik merah itu berkilau, air yang tertampung disana luruh seketika. Isakannya tertahan, bahkan kakinya ikut membeku di tempat. Terlalu terkejut dengan hal yang ada di depannya.

       Anak itu hendak melangkah ketika mendengar suara gemerincing rantai. Perlahan namun dengan ketakutan, dia berbalik, hanya untuk melihat seorang bertubuh besar dengan rantai serta kayu panjang di masing-masing genggamannya.

       "Oh? Kau terbangun dari tidur nyenyakmu, Anak Manis? Sayang sekali, padahal aku ingin mengunjungimu langsung, tapi sepertinya anak penakut sepertimu terlalu peka dengan keadaan sekitarmu."

       Air mata si kecil mengalir makin deras, tangannya membekap mulutnya kuat-kuat untuk menahan isakan ketakutannya terhadap sosok besar menyeramkan di hadapannya.

       Darah di kedua tangan besar itu, dia tidak bodoh untuk tahu milik siapa, juga cipratan darah di tubuhnya.

       Milik orang tuanya.

       "Kenapa.. Siapa kau? Kenapa kau lakukan ini?"

       Amat pelan dan kecil suaranya, tapi orang itu dapat mendengarnya.

       "Suaramu bahkan seperti cicitan tikus, huh? Sial, dunia sangat bodoh bisa menerima makhluk lemah dan penakut sepertimu!"

       Anak itu tersentak, suara orang itu keras sekali.

       Dan dia kembali terkejut, bergerak mundur dengan panik saat orang besar itu melangkah ke arahnya. Gigi besar dan tatapan menyeramkan itu membuatnya gemetar, dia hanya bisa menangis.

       "Kau itu tidak berguna sama sekali, kau tahu!? Orang-orang bangsawan itu yang bodoh, mengangkatmu yang seorang yatim piatu dan dari panti asuhan menjadi anak mereka karena tidak bisa menghasilkan anak kandung, tapi nyatanya mereka mengambil anak yang salah! Tidak berguna dan hanya bisa bergantung pada orang lain!"

        Manik merah itu menatap nanar, semua bentakan keras masuk ke telinga kecilnya.

        "Tapi, aku yakin status darah bangsawan bisa bersih setelah kau tiada."

       Deg!

       "Kau dan mata aneh dan sialanmu itu, tidak seharusnya ada di dunia ini! ENYAHLAH!"

       Dia menyaksikan bagaimana orang itu sampai di depannya dengan cepat.

       Sekejap ketika ayunan kayu itu sampai ke wajahnya, dia hanya melihat kegelapan gulita melingkupi penglihatannya, juga kesadarannya.

       Dia kehilangan cahaya di matanya di umurnya yang ke-5.

[]

𝐓𝐀𝐄𝐓𝐈𝐂𝐂-𝐒𝐇𝐎𝐎𝐓 | 𝐊𝐎𝐎𝐊𝐕Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang