Menyingkap Rahasia

157 37 11
                                    

Irena

Yasha nganterin gue pulang tepat pukul  21.03 dan harusnya bisa lebih cepat tapi karena macet jadi diperjalanan bakal mengulur waktu. Niat sebelumnya, Yasha mau ngajakin gue untuk makan di tempat lain tapi gue tolak dengan alasan gue udah capek.

Gue beneran capek. Capek hati, capek pikiran dan capek badan. Semuanya membulat menjadi beban pikiran. Pikiran-pikiran itu lalu berubah menjadi energi negatif yang membuat gue mulai berpikir bahwa gue memang nggak sepantas itu buat dicintai.

Dulu Ale bilang bahwa gue sebenarnya polos dan naif meskipun di luar gue terlihat nggak bisa dikalahkan oleh siapapun. Tapi akhir-akhir ini gue mulai menerka-nerka bahwa sebenarnya yang diucapkan oleh Ale benar adanya. Tapi menjadi naif apakah sebuah kesalahan hanya karena seseorang yang punya pacar suka sama gue. Dan gue meresponnya karena dia baik, perhatian serta gue merasa disayangi oleh dia.

Sebagian orang mungkin menganggap hal ini sebagai bentuk pembelaan gue. Nggak. Gue nggak pernah membela diri karena gue tahu, gue yang salah.

Terserah mau bilang apa.

Di antara sisa malam yang tersisa, gue masih duduk di depan kolam renang saat Mama mendekati gue dengan secangkir kopi yang asapnya masih mengepul.

Melihat hal tersebut, gue langsung beranjak ingin pergi namun Mama dengan cepat langsung menarik tangan gue.

Gue menatap wajah Mama sesaat lalu ketika ia meminta gue buat kembali duduk, gue menurut.

"Kita nggak pernah duduk berdua dan cerita selama sepuluh tahun terakhir, Ren." Mama menyilangkan kakinya sambil tersenyum.

Malam ini lebih dingin dari biasanya. Bias di matanya menyampaikan sepercik damai yang udah lama banget nggak gue saksikan.

"Kamu apa kabar?" Ucapnya seolah kami adalah teman lama yang sudah lama nggak bersua dan sekarang sedang mencoba mengakrabkan diri lagi.

Gue senyum sekilas namun sarkas.

"Baik. Mama apa kabar?" Gue nanya balik.

Mama mengangguk. "Jauh lebih baik dari biasanya."

Percaya deh. Gue nggak pernah nanya hal apapun sama Mama termasuk nanyain kabar kayak sekarang. Meskipun kita tinggal serumah tapi definisi keluarga di rumah ini cuma sebatas formalitas di atas kertas karena faktanya kita nggak benar-benar jadi keluarga sebagaimana semestinya.

"Cowok yang nganter kamu tadi siapa? Mobilnya cukup sering kemari ya?" Tanya Mama. Mungkin Mama mencoba bonding time ke gue kali ya. Entah rasanya gue malah geli diinterogasi kayak gini.

Gue menarik napas panjang sebelum menjawab, "teman."

Hening beberapa saat. Gue dan Mama nggak ada yang berusaha untuk membuka atau mengganti topik lainnya.

"Ren..." panggil Mama. "Maafin Mama ya karena nggak selalu ada buat kalian. Sampai-sampai kalian menjadikan Mama orang asing seperti sekarang."

Gue cuma melirik Mama sedikit. Ia menatap ke depan dengan pandangan kosong.

"Mama sama Papa yang buat kami jadi asing. Bertahun-tahun kita satu atap tapi sebenarnya kita nggak kenal satu sama lain sampai akhirnya kita menjadi asing," jawab gue.

Mama menoleh gue lalu tersenyum. "Mama tahu. Ini semua karena keegoisan Mama mungkin kita semua nggak harus dihidup begini."

Nggak ada jawaban dari gue. Harusnya Mama sadar akan hal ini dari dulu agar semua orang di rumah ini nggak jadi korban. Para orang tua tuh kadang lucu, mereka lupa satu hal bahwa untuk membuat seorang anak bahagia maka orang tua harus bahagia terlebih dahulu.

Back To December  ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang