Selamat Tahun Baru

191 39 5
                                    

Irena

"Ren sorry, kita pernah ketemu nggak?" Tanya Yasha ke gue.

Gue nggak perlu berpikir terlalu keras untuk menjawab, "nggak." Karena kenyataannya gue emang baru pertama kali ngeliat mereka, Yasha dan Naka.

Beberapa jam lalu, gue masih sempat-sempatnya mengharapkan sesuatu yang memang seharusnya nggak gue harapin.

Ale.

Gue masih mengharapkan Ale. Gue bahkan nggak peduli sama istrinya, gue cuma pengen Ale tahu, kalau gue masih sesayang itu sama dia. Tapi pada kenyataannya nggak, Ale nyuruh gue datang cuma mau bahas proposal bisnis dia dan teman-temannya. Sialnya, gue main setuju-setuju aja lagi.

Nggak tau tuh gue bisnisnya kayak gimana. Alasan gue mengiyakan cuma karena Ale doang. Nggak lebih. Tapi mereka ngasih proposal gitu, jadi gue bisa pelajarin nanti pas di rumah.

Besok adalah hari terakhir di bulan Desember dan besok udah tahun baru dan hidup gue masih begini-begini aja. Gue masih suka orang yang sama, gue masih melakukan pekerjaan yang selalu sama, dan rutinitas yang sama pula. Sedatar itu hidup gue.

Lagu Lady Gaga-Always Remember Us This Way, gue putar sekarang.

Beberapa tahun lalu, di tepi jalan, gue dan Ale berjalan bersisian menapaki jalanan yang basah setelah hujan. Kita nggak saling bicara tentang apapun, cuma jalan aja. Dan tiba-tiba Ale megang tangan gue. Gue nggak berusaha untuk melepaskan genggaman itu namun gue malah menggenggam tangan Ale lebih erat.

Gue dan masih berjalan dan waktu menunjukkan pukul sembilan malam. Sampai akhirnya kita berhenti di halte busway.

"Ren, nggak selamanya marah itu buruk. Adakalanya lo juga harus meluapkan amarah yang lo pendam," tutur Ale.

"Papa sama Mama berantem lagi, Le. Mama beberapa hari ini tidur di Yayasan dan Papa selalu marah-marah ke kita. Dan yang paling gue khawatirkan adalah Bian." Gue mendengus pasrah.

"Kenapa lo harus kasihan sama adik lo? Kenapa nggak lo nggak kasihanin diri lo sendiri?"

Mata gue langsung menatap Ale, "karena gue merasa mampu ngelewatin semuanya sedangkan Bian nggak. Papa selalu membuat masalah sedangkan Mama selalu memperumit masalah. Gue tau hancurnya Bian gimana, dia harusnya cuma senang-senang tapi dia selalu diminta untuk nerima semuanya, Le. Dan semua ini karena Papa."

"Dan sekarang gue tanya sama lo, lo selalu menempatkan orang lain di atas diri lo sendiri. Apakah lo sekarang baik-baik aja?" Nada suara Ale penuh penekanan. Satu hal kenapa gue selalu berani meceritakan semuanya dengan Ale adalah dia nggak pernah mau menghakimi apapun.

"Gue baik-baik aja."

"Ren, lo diperbolehkan untuk berkata kalo lo lagi nggak baik-baik aja."

Waktu itu gue nangis. Saat itu gue merasa bahwa orang yang bisa melihat titik lemah gue adalah Ale, selalu Ale dan selamanya Ale. Dia membuat gue nggak harus membohongi diri sendiri. Dia selalu mengizinkan gue buat nangis disaat seluruh dunia minta gue untuk tertawa.

"Tertawa disaat kita ingin menangis itu rasanya sakit, Ren."

Kata-kata itu masih terekam sangat jelas di otak gue bahkan sampai sekarang, saat semuanya sudah berubah, Ale dengan dunia barunya dan gue yang masih berharap kalau dunia gue tetap Ale.

Tanpa gue sadari air mata mengaliri pelupuk mata. Gue tersenyum pahit, Irena yang selalu dianggap mati rasa kini kembali menangis. Bukan karena ia tidak bersyukur tapi karena ia kembali tersadarkan untuk menjadi lemah bukanlah sebuah kesalahan.

***

Yasha

Dari kejauhan gue bisa melihat seseorang berjalan mendekat ke arah gue. Gue yang lagi duduk di bangku sedikit terpanah bahwa Irena secantik itu, bahkan menurut gue dia lebih cantik dari yang gue lihat kemarin.

Back To December  ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang